Sunday, February 4, 2018

Kasian ilmuan old n now

Harian KR Jogja 3 Feb 2018
POTONG GENERASI ILMUWAN ?
(c) Prof. Dr. Fahmi Amhar
Beberapa saat lalu penulis berkesempatan ke India untuk menghadiri konferensi penginderaan jauh se-Asia. India merdeka 1947. Badan Ruang Angkasa India ISRO berdiri 1962, tak banyak berbeda dengan LAPAN. Mereka sama-sama belajar dari Soviet yang meluncurkan Sputnik tahun 1957, jauh lebih dulu dari Amerika Serikat.
Tahun 1975 India berhasil membangun satelit sendiri (diluncurkan roket Soviet). Namun 1979 India berhasil meluncurkan roket sendiri ke orbit. Saat ini roket India sudah andal dan dipercaya berbagai negara Eropa untuk meluncurkan satelit-satelit mereka.
Sementara itu, Indonesia masih nyaris jalan di tempat. Mengapa?
Salah satu teori yang cukup dapat menjelaskan fenomena ini adalah bahwa di Indonesia sudah terjadi tak cuma sekali terpotongnya generasi ilmuwan. Ada sejumlah besar ilmuwan, yang sebelumnya sudah tuntas menuntut ilmu di negara maju, bahkan sudah merintis banyak hal di dalam negeri, tiba-tiba harus berhenti, bahkan terpaksa hengkang dari negeri ini.
Kasus pertama terjadi pada awal Orde Baru (1966-1973) saat ada "pembersihan" terhadap siapapun yang dituduh dekat dengan PKI. Maka ribuan ilmuwan Indonesia yang sebelumnya belajar di Jerman Timur, Cekoslovakia, Russia hingga RRT, jadi ketakutan untuk pulang. Mereka memutuskan menetap di sana, atau meminta suaka ke negara lain yang mau menampung.
Kasus kedua terjadi pasca krisis moneter yang diikuti Reformasi (1997-2004). Saat itu ada 4 presiden silih berganti (Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY), kabinet dibongkar pasang nyaris setiap tahun, dan jarang ada program yang bisa dilakukan serius dalam jangka panjang. Padahal proyek-proyek riset sejatinya tiada yang bisa diselesaikan secara singkat. Namun pemerintah sedang perlu "quick win". Ribuan calon ilmuwan yang telah dikirim sekolah ke luar negeri tahun 1985-1994 oleh Habibie saat menjadi Menristek, terpaksa mencari orientasi baru.
Saat itu, beberapa BUMN strategis yang semula kesayangan Habibie (seperti PTDI) sempat dibekukan. Mereka yang semula menjadi peneliti di LIPI, LAPAN, BPPT dan BATAN merasa sedang di titik nadir, sehingga goyah ketika mendapat tawaran baik di luar negeri maupun di perusahaan multinasional. Sebagian ilmuwan bahkan akhirnya memutuskan terjun ke jalur politik, masuk partai, sebuah profesi yang di era reformasi lebih menjanjikan dibanding ilmuwan. Tinggal para ilmuwan "gila" yang terlalu mencintai negeri, atau tidak memiliki pilihan lain, yang tetap bertahan.
Kasus kedua ini bukan "potong generasi", secara langsung. Para ilmuwan itu yang "memotong diri mereka sendiri" karena tidak cukup sabar untuk bertahan dalam kondisi yang kurang kondusif saat itu.
Namun kini kasus ketiga sedang di pelupuk mata. Rezim sekarang sedang membidik para PNS yang dianggap "terlalu Islam", dan ini berarti "kurang kebhinekaan", "intoleran" dan "anti NKRI". Dengan Perppu Ormas yang telah disahkan sebagai UU, kini tersedia “senjata” yang ampuh untuk ditikamkan ke siapa saja yang berani mengkritik rezim. Dosen atau ilmuwan yang dianggap dekat dengan parpol-parpol penolak Perppu Ormas, rawan dihabisi kariernya. Meskipun mereka adalah ilmuwan handal yang bertahun-tahun mengharumkan institusi, namun logika sedang tumpul, sama tumpulnya dengan kasus-kasus sebelumnya.
Sudah terjadi, seorang profesor di sebuah PTN yang tiba-tiba dicabut hak mengujinya, sehingga mahasiswa yang dibimbingnya tidak bisa ujian tesis. Ketika ditanyakan alasannya, jawabannya adalah karena perintah dari atas, bahwa beliau disinyalir anggota ormas tertentu, tanpa tabayyun, tanpa kesempatan membela diri, bahkan tanpa pemberitahuan resmi.
Potong generasi semula adalah ungkapan untuk mengakhiri sebuah jajaran rusak yang sudah mengakar di dunia birokrasi. Potong generasi efektif untuk mengakhiri tatanan yang sarat korupsi, namun menjadi pilu kalau diterapkan atas para ilmuwan. Seorang pejabat politik dapat digantikan kapanpun oleh siapapun. Namun seorang ilmuwan, tidak semudah itu. Kalau ilmuwan itu perlu 3-4 tahun hanya untuk doktoralnya, lalu bertahun-tahun lagi untuk mematangkan kepakarannya, tentu ironis jika rezim yang jauh lebih pendek usianya dari masa pematangan seorang ilmuwan, merasa lebih tahu dan lebih berhak untuk memotong generasi para ilmuwan.
Bila ini terus terjadi, maka buanglah mimpi untuk meraih kemandirian di antariksa, yang akan menjamin kedaulatan negeri ini di kancah globalisasi, serta memenuhi amanah konstitusi: ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Prof. Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama di Badan Informasi Geospasial.
Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE).

No comments:

Post a Comment