Monday, February 26, 2018

Friend to Jannah

Gaul Islam, Gaul Sehat

Gaul atau bergaul adalah ciri khas kehidupan manusia. Hampir nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa pergaulan. Manusia memang nggak mungkin hidup tanpa orang lain, karena itulah perlu interaksi alias pergaulan. Nah, ngomongin soal pergaulan atau interaksi, kalo pergaulan itu terjadi antara pria dengan sesama pria atau wanita dengan sesama wanita, insya Allah pergaulan kayak gitu sejatinya nggak akan menimbulkan problem alias nggak perlu aturan khusus untuk mengatur interaksinya.
Tapi pergaulan yang bisa dan biasa menimbulkan persoalan adalah interaksi pria dan wanita. Pergaulan inilah yang perlu adanya pengaturan khusus, karena dari pergaulan tersebut muncul interaksi-interaksi yang lain. Maksudnya, “pengaturan khusus” disini adalah pengaturan yang hubungannya langsung pergaulan jenis laki-laki dan wanita. Maka tulisan kita di sini, tentu aja akan fokus ngebahas pergaulan pria-wanita. Are u ready?

Yuk Kenalan dengan Gharizatul Nau’
Naluri melestarikan jenis alias gharizah an-nau bisa juga diartikan naluri mencintai dan dicintai. Tapi meski bicara cinta, nggak melulu urusannya dengan lawan jenis. Karena naluri ini sebenarnya jika dipenuhi dengan benar, maka keberlangsungan jenis manusia bisa terjaga di dunia. Bukan hanya soal jumlahnya tapi juga kelanjutan jenis manusia dari segi identitas serta kehormatannya sebagai manusia yang berbeda dengan binatang.
Oleh karena itu, naluri ini nggak hanya bicara cinta atau ketertarikan antar lawan jenis, tapi gharizah an-nau’ ini juga tampak ketika muncul rasa sayang kepada keluarga, rasa sayang kepada sesama, dan dorongan seksual. Munculnya dorongan ini membutuhkan pemenuhan, sekalipun tuntutan pemenuhannya tidak sampi mutlak, alias gak akan sampai menimbulkan kematian bila sampai tidak terpenuhi. Namun bagaimanapun juga pemenuhan kebutuhan naluri ini tidak boleh diserahkan aturannya kepada manusia. Kalo pemenuhannya diserahkan kepada manusia maka kita bisa lihat faktanya seperti apa yang terjadi saat sekarang ini, terjadinya pemenuhan naluri dengan cara yang keliru dan pastinya ini bisa mengancam keberlangsungan jenis manusia.
Misal saja pemenuhan naluri an-nau ini dengan cara menikah sesama jenis. Jadi cowok menikahi cowok, atau cewek menikah dengan cewek (ih jizayyy, naudzubillah), akibatnya punahlah jenis manusia. Karena gimana bisa seorang cowok hamil atau mengandung anak? Atau seorang cewek juga gimana bisa mengandung anak kalo tidak ada lelaki yang menghamilinya? Nah, kalo pemenuhan gharizah an-nau dengan cara seperti ini dibiarkan, sudah pasti jumlah kelahiran akan berkurang, jika jumlah kelahiran berkurang itu artinya sedikit demi sedikit jenis manusia akan bisa punah. Seperti fakta yang hari ini teradi di negara-negara Barat dan Jepang dengan apa yang disebut lost generation.
Praktik pemenuhan gharizah an-nau yang salah juga bisa mengancam kepunahan jenis manusia adalah memuaskan dengan binatang. Mungkin kedengarannya menjijikkan, tapi itu fakta yang terjadi di tengah-tengah kita, ketika memang manusia dikasih hak untuk mengatur sendiri pemenuhan gharizah an-nau. Orang-orang yang ada di golongan ini orientasinya hanya memuaskan keinginan hasrat seksual semata, nggak memikirkan tentang keturunan apalagi urusan moral, etika dan agama. Naudzubillah min dzalik.
Ada juga pemuasan pemenuhan gharizah an-nau yang tidak secara langsung memusnahkan jenis manusia, akan tetapi merusak harkat dan martabat manusia itu sendiri. Apa itu? Yakni mereka yang memuaskan kebutuhan seksualnya dengan saudara sendiri, atau dengan sesama jenis tapi tanpa ikatan pernikahan. Praktik ini tentu saja akan merusak nilai sakralnya arti sebuah keluarga. Praktik incest akan merusak siklus atau silsilah keluarga, jadi nggak jelas mana bapak, mana anak, mana kakak, mana adik, akhirnya nggak ada bedanya manusia dengan ayam yang suka main tubruk aja, nggak ngeliat dulu itu induk yang pernah melahirkannya.
Sementara yang memenuhi gharizah an-nau dengan lawan jenis tapi tanpa ikatan pernikahan alias samen liven or kumpul kebo, juga nggak ada bedanya. Ini praktik yang juga akan merusak jenis manusia dan sekaligus menghancurkan martabat manusia. Orang-orang yang mempraktikkan hal ini, mau enaknya saja tapi tanpa mau terikat dengan komitmen. Pacaran masuk dalam kategori yang ini.
Praktik-praktik pemenuhan gharizah atau pergaulan pria wanita yang sudah dipaparkan di atas sebenarnya khas milik orang Barat yang sekular, tetapi pemahaman itu sukses ditransfer ke negeri-negeri muslim sehingga kita bisa lihat, nggak ada bedanya masyarakat Barat dengan masyarakat dunia Islam. Praktik homoseks misalnya, sudah bukan hal yang tabu bahkan diundang-undangkan di Amerika dan beberapa negara Eropa, nah bukan nggak mungkin negeri-negeri Islam yang memandang bahwa aturan itu bermanfaat pasti akan dibuat dan disahkan undang-undang pernikahan sesama jenis.
Wa bil khusus di negeri kita tercinta ini, pelaku LGBT tidak dapat dijerat atau tidak dikategorikan kriminal, alias tidak ada sanksi hukumnya. Naudzubillah, bener-bener mengundang adzab Allah ini. Lha wong tidak dibuatkan peraturan saja, sudah banyak praktik homo dan lesbi. Maka kalo semakin legal dan berkembang praktik homoseks, saat itulah kepunahan jenis manusia menjadi ancaman kita bersama.
Begitulah, Barat dengan paham sekularisme-nya telah nyata merasuki pemikiran kaum muslimin sehingga melunturkan pemahaman kita tentang kehidupan, sehingga tolok ukur kita terhadap segala sesuatu diukur dengan azas manfaat atau tidak. Keberhasilan peradaban Barat masuk ke tubuh kaum muslimin juga pada persoalan pergaulan pria dan wanita.

Ubah Mindset Instingtif
Cara pandang atau mindset kita tentang lawan jenis tidak boleh layaknya hewan, dimana melihat lawan jenis dengan pandangan insting ‘betina-jantan’, meskipun fitrahnya manusia saling tertarik antar lawan jenis. Dan memang Allah memberikan naluri an-nau’ dan pengaturannya demi keberlangsungan jenis manusia, Allah berfirman:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al Hujurat 13)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak” (QS. an-Nisa 1).
Melarang setiap  pria maupun wanita memandang lawan jenisnya dengan pandangan disertai syahwat (nafsu birahi)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur 30)
Begitulah cara pandang Islam mengenai hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan harus diletakkan dalam kerangka melestarikan kelangsungan jenis manusia dengan segenap atribut kemanusiaannya, bukan hanya perkembangbiakan manusia.
Kalo dalam kehidupan binatang, eksistensi mereka terjaga dengan hubungan seksual tanpa memperhatikan tetek bengek ikatan, karena memang hewan tidak dilengkapi dengan potensi akal. Maka cara pemenuhan naluri seksual oleh manusia haruslah berbeda dengan cara hewan memenuhi naluri seksualnya.
Kalo cara pandang terhadap pria-wanita didominasi oleh orientasi seksual berupa ‘jantan-betina’, maka fakta-fakta terindera atau fakta-fakta pemikiran yang bisa membangkitkan naluri seksual menjadi sesuatu yang lazim dan mesti ada di tengah masyarakat.
Cara pandang seperti ini mendapat pembenaran oleh Sigmund Freud yang mengajarkan bahwa dorongan naluri kalo tidak dipenuhi akan menyebabkan kematian. Sebagai konsekuensi dari cara pandang tersebut maka fokus dari cara pandang tersebut adalah kelezatan dan kesenangan. Atas dasar alasan itu munculnya perselingkuhan di tengah masyarakat, dianggap wajar dalam masyarakat Barat.

Gaul Islam, Gaul Sehat
Terbukti, cara pandang pemenuhan gharizah an-nau’ sekedar instingtif, maka manusia nggak ada bedanya dengan hewan bahkan bisa lebih rendah dari hewan. Di dunia hewan, hampir nggak kita jumpai, misalnya kambing jantan suka kambing jantan trus mereka melakukan hubungan badan. Tapi pada pergaulan manusia hal itu terjadi dengan adanya lesbi dan homo. Itulah bukti nyata kalo salah cara pandang dan cara pemenuhan gharizah an-nau’ manusia bisa lebih hina dari kambing.
Trus, seperti apa cara pandang pergaulan pria dan wanita di masyarakat seharusnya menurut Islam?
Memisahkan pria dan wanita dalam kehidupan. Pernyataan bahwa “pergaulan pria-wanita dalam pandangan Islam perlu dipisahkan”, diambil setelah kita meneliti dan memahami sejumlah dalil al-Quran dan as-Sunnah. Kita juga akan menemukan bahwa Allah Swt. sendiri telah mewajibkan kaum wanita untuk mengenakan jilbab jika mereka hendak keluar rumah (QS. Al Ahzab 59, An-Nur 31). Allah telah menjadikan seluruh tubuh wanita sebagai aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya:
“Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita, apabila telah balig (mengalami haid), tidak layak tampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini (seraya menunjuk muka dan telapak tangannya).” (HR Abu Dawud)
Allah telah mengharamkan atas wanita untuk memperlihatkan perhiasannya terhadap selain mahram-nya.
"Dan janganlah mereka (perempuan) memhentakkan kaki (atau mengangkatnya) agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (QS. An-Nur 31)
Allah juga telah melarang para wanita bepergian, meskipun untuk keperluan ibadah haji, jika mereka tidak disertai oleh mahram-nya:
"Tidak halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, melakukan safar sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram (yang menyertainya)". (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad )
Kita akan menemukan pula bahwa, Allah Swt. telah melarang seseorang untuk memasuki rumah orang lain, kecuali dengan seizin penghuninya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian agar kalian (selalu) ingat” (QS. an-Nur 27)
Kita pun akan menemukan bahwa, Allah Swt. tidak mewajibkan kaum wanita melakukan shalat berjamaah, shalat Jumat, ataupun melibatkan diri dalam aktivitas jihad, sebaliknya Allah mewajibkan semua aktivitas tersebut bagi kaum pria. Allah Swt. juga telah mewajibkan kaum pria berusaha mencari penghidupan, tetapi Allah tidak mewajibkan hal itu bagi kaum wanita.
Fakta-fakta apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. bisa menjadi bukti bahwa Beliau telah memisahkan kaum pria dari kaum wanita; misalnya, menjadikan shaf-shaf kaum wanita, ketika menunaikan shalat di dalam masjid, berada di belakang shaf-shaf kaum pria; memerintahkan kaum wanita keluar lebih dulu—setelah selesai menunaikan shalat berjamaah di dalam masjid—yang kemudian disusul oleh kaum pria.
Suatu saat, tatkala Rasulullah saw. mengajar di masjid, kaum wanita mengadu kepada beliau, ‘Kami telah dikalahkan oleh kaum pria. Oleh karena itu, hendaklah engkau menyediakan waktu khusus bagi kami satu hari saja’.
Dalil-dalil di atas yang menjadi dasar bahwa asal muasal kehidupan laki-laki dengan wanita itu terpisah (infishol).
Berikutnya, karena dorongan keinginan pemenuhan gharizah berasal dari luar diri manusia dengan adanya stimulus berupa fakta atau pemikiran, maka Islam mencegah atau melarang fakta-fakta terindera ataupun fakta-fakta pemikiran yang bisa merangsang nafsu seksual, seperti:
Islam melarang berkhalwat (berdua-duaan laki-laki dan wanita yang bukan mahrom): “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad)
Melarang wanita bersolek dan berhias mempercantik diri untuk menonjolkan kecantikannya (tabaruj), memakai wewangian di hadapan laki-laki asing (non mahram)
“Janganlah mereka memukul-mukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An-Nuur 31)
“Setiap wanita yang menggunakan wewangian, kemudian ia keluar dan melewati sekelompok manusia agar mereka dapat mencium bau harumnya, maka ia adalah seorang pezina” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, dan al-Hakim)
Islam juga mewajibkan wanita ketika keluar rumah untuk menutup aurat:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya” (QS. An-Nur 31)
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (QS. Al Ahzab 59)
Aturan-aturan itu semua dan yang serupa lainnya, diberikan Islam dalam rangka mencegah agar pemenuhan gharizah an-nau’ nggak hanya berdasar insting, dan nggak memandang lawan jenis hanya dengan pandangan seksual.
Subhanalllah, betapa mulianya kalo aturan Islam diterapkan secara kaffah dalam kehidupan. Siapa yang rindu aturan Islam diterapkan? []

Thursday, February 22, 2018

Human

Febri Swendi Indra
Manusia
Makhluk paripurna kreasi Sang Maha Pencipta
Banyak yang berbicara, menulis, meneliti tentangnya sejak dulu kala
Bahkan tidak akan berhenti sampai kiamat tiba
Faktanya akan diungkapkan dari persepsi manusia juga, ini kebanyakannya
Namun jarang manusia mengkaji manusia dengan melibatkan Allah Azza wa Jalla dalam setiap detil pembahasannya
Inilah agaknya yang jadi sebab utama kenapa manusia lebih susah bekerja sama.
Karena kita gagal memikirkan semua fakta manusia yang sesuai dengan informasi dari Pencipta.
Ternyata semua makhluk lengkap diciptakan beserta khasiatnya yang tidak akan berubah tanpa izin dari sang Maha.
Mari ubah pemikiran dasar kita tentang yang namanya manusia
Yang berkesempatan dan berkemauan boleh lah kita bertukar data dan fakta
Tinggal kita sepakati waktunya ya

Tuesday, February 20, 2018

Million viewers preacher

Syair Datuk Seri Ulama Setia Negara

Oleh: Abdul Somad, Lc. MA

Dengan Bismillah kalam bermula
Alhamdulilah pembuka kata
Shalawat dan salam sempurnalah makna
Yang kecik dibina yang besar mulia

Abdul Somad aku bernama
Selesai belajar di Negara Narasinga
Pernah singgah di IAIN Suska
Terbang menuju Bumi Seribu Menara
Melihat Sungai Nil dan Piramida
Bersua dengan Fir’aun dan Musa
Hinggap sekejap di Bumi Malaya

Akhirnya terdampar di Gurun Sahara
Hampir sampai ke Barcelona
Setelah lama mengembara
Kembali jua ke bumi tercinta
Tanah Siak Sri Indrapura
Membawa gelar LC dan MA
Banyak orang bertanya-tanya
Apalah agaknya artinya
Lagi cemas mencari anak dara

Nasehat orang tua-tua
Bernaunglah di pokok yang gagah perkasa
Batangnya jadi penyangga
Akarnya tempat bersila

Bersilaturrahim ke rumah Doktor Musthafa
Rumah putih di Jalan Gulama
Dia bawa daku sepuluh senja
Ke TVRI membawa acara
Bila ia pergi ke Malaysia
Daku duduk di singgasana
Menjadi guru sekejap mata

Subuh tiba gelap gulita
Menuju Masjid dipagi gulita
Jamaah pun tak pulak ada
Banyak pula tiang darikan manusia

Berbekal sabar dan doa
Nasib baik datang menyapa
Khutbah bergetar dari Masjid Raya
Banyak mata terpesona
Caci hamunpun ikut serta
Lovers and haters kata anak-anak muda

Ada pula yang menuduh paksa
Fitnah anti Bhineka Tunggal Ika
Diusir dari Pulau Dewata
Deportasi dari Cina
Tapi hati tak rasa hina
Semua itu belum ada apa-apanya
Bila di bandingkan Nabi Besar kita
Gigi patah kaki terluka
Namun tetap berbalas doa
Sungguh tak layak masuk ke surga
Bila busuk hati terus dipelihara

Orang Melayu cinta negara
13 Juta Gulden belanda
Diderma untuk membela bangsa
Sultan Syarif Kasim orang mulia
Dari Siak Sri Indrapura
Berdaulat ke Yogyakarta
Jangan kau ajar kami tentang cinta
Kalau bukan karna kami punya bahasa
Kau pun tak dapat bertutur kata

Dendam jangan masuk ke kepala
Masih banyak yang perlu di rasa
Anak Sakai meniti pipa
Anak Akit senyum menyapa
Talang Mamak terus menganga
Padahal minyak tiada terkira
Tapi apa yang mau di kata
Terlampau banyak diangkut ke Jakarta

Awan berarak menanti senja
Budak menuju Surau Mushalla
Qur’an di tangan dan alif  ba ta
Tak lupa rotan di belah dua
Tapi kini semua dah sirna
Semua sudah berganti rupa
Budak asik bermain Sega
Play Station warnet beraneka
Dari Batman hingga Mahabarata

Sampai Spiderman sarang laba-laba
Kalau lah tak ada usah
Budak Melayu kan hancur binasa
Melayu hanya tinggal nama
Rosak kerana Aids dan narkoba
Menjemput murka dan bencana
Wajah menjadi bermuram durja

Selepas masuk Belanda
Banyak anak tak boleh tulis baca
Huruh Arab dibuang serta
Melayu Riau boleh berbangga
Huruh Arab Melayu merata-rata
Dari Masjid hingga kantor Walikota
Tapi bila tiba saatnya
Huruf Arab hanya mantra
Dibaca saat duka cita
Atau untuk pelet wanita
Sungguh kiamat di pelupuk mata

Maka
Masuklah anak ke sekolah agama
Ada Gontor 7 dijalan ke Kampa
Darel Hikmah, Babussalam, dan Ash-Shofa
Atau IBS arah Asrama Tentara
Memang agak mahal biaya
Minimal pelajaran agama ada lima
Menjadi bekal dari muda ke tua
Andai tersesat boleh kembali semula
Mereka kan jadi pemimpin bangsa

Dari Presiden sampai Pak KUA
Kita semua akan binasa
Harta tiada di bawa serta
Anak sholih jualah yang mengalir ke kita

Malam berinai kan tiba jua
Tepak sirih merah merona
Gambir kapur dan pinang tua
Mulut mengunyah bermasam muka
Tanda lidah sedang merasa
Pahit kelat dan pedar ada
Semua mesti di telan sama
Pertanda hidup berumah tangga
Mak andam duduk memasang kenaga
Jemputan hadir saudara mara
Barzanji di baca serta marhaba
Tuan Mufti membaca doa
Air mata bahagia ayah dan bunda
Menanti cucu penyejuk mata
Disana bahagia berpunca
Tapi kini semua tak ada
Akad menjadi majelis duka
Kerana marah menghunjam dada
Rosak sudah pemudi pemuda
Amuk dan hamun mengisi acara
Mereka pun tak salah juga
Kerana diam kita lah bencana mereka

Banyak orang bertanya–tanya
Siapalah agaknya
Menulis kata-kata berbingkai makna
Menyentuh rasa hati dan kepala
Jawabannya
Siapa lagi kalau bukan Datuk Seri Ulama Setia Negara
Abdul Somad Lc. MA

Tapi bila malaikat maut tiba
Pangkat dan kuasa tak lagi bermakna
Hanya iman dan amal shalih jua
Yang akan di bawa serta
Tinggallah rumah besar bertingkap kaca
Anak menantu sahabat tetangga
Kain songket dan baju sutera
Cincin emas dan batu permata
Ruby zamrud dan mutiara
Tangan yang pernah menyapu air mata
Orang susah dan miskin papa
Kepala anak yatim tiada berbapa
Apa tanda Melayu menyapa
Lemah lembut bertutur kata
Apa tanda Melayu beragama
Takut pada Allah semata
Apa tanda Melayu bernegara
Tetes darah asal jangan hina
Kala menung datang menyapa
Saat tanah pusara sudah pun rata
Anak menantu jiran tetangga
Tinggallah diri sebatang kara

Bila sampai masanya tiba
Anak berbisik ke pangkal telinga
Buah hati belaian jiwa
Mizyan Hadziq Abdillah putera teruna
La ilaha illallah ‘azza wa jalla.

Monday, February 19, 2018

Keep clean, please

Jangan Nyampah

Salah satu yang buat saya sangat kesal saat di jalan, ialah ada orang yang buang sampah sembarangan. Andai bisa dan boleh, orang seperti ini dipenjara saja

Jangan lihat sepelenya perbuatan, atau besar kecilnya sampah yang dibuang, tapi lihat mentalnya, mental semisal inilah yang menginspirasi kekacauan yang lain

Pertama, egois. Sebab dia ingin mobilnya bersih, tapi tak peduli bahwa orang lain juga ingin lingkungannya bersih. Masa bodoh, dia pikir sampahnya hilang begitu saja

Kedua, pikiran pendek. Dia tak lagi berpikir efek lanjutannya. Selesai begitu dia membuang sampah. Perkara merusak pemandangan dan lingkungan, tak peduli

Ketiga, merendahkan orang lain. Nanti juga ada yang bersihkan, itu pikirnya. Dia merasa lebih hebat, lebih layak, lebih berhak, sudah bayar pajak, boleh tinggalkan jejak

Keempat, tak bertanggung jawab. Jelas sekali, mau makan tidak mau membersihkan, mau memanfaatkan tissue tapi tidak ingin membuangnya dengan layak

Kelima, sekurang-kurangnya, adalah orang bodoh, sebab tak mau mencari tahu, mengapa membuang sampah sembarangan itu adalah sesuatu yang tidak terpuji

Jadi jangan berpikir ulang bila calon pasangan atau calon menantu anda termasuk tukang nyampah, langsung ditolak saja, sebab tak ada masa depan pada orang begini

Sebab Islam justru sebaliknya, peduli pada orang lain, berpikir hingga ke akhirat, menghormati orang lain, bertanggung jawab dan sangat haus dalam perkara ilmu

Itulah mengapa mereka yang Muslim senantiasa diminta untuk memperhatikan kebersihan bahkan keindahan. Bagaimana tidak buang air kecil saja harus istinja

Sayangnya pelaku nyampah ini justru Muslim yang banyak melakukan. Mengapa? Karena mereka tidka mempraktekkan agama. Karena tak serius dalam Islam

Mudah-mudahan yang membaca curhatan saya ini, lebih bertanggung jawab pada Islamnya, jaga lingkungan, jangan nyampah. Kecil tapi berarti sekali

Islam kita sangat indah. Surga pun digambarkan begitu indah. Maka jagalah dari sekarang, agar kita kelak layak untuknya. Jangan nyampah, itu bagian syariah

Sunday, February 18, 2018

Love is hurts

Sebuah Ibrah Tentang Cinta
Malam ini, saya sedang sibuk mengetik di depan laptop ketika ada sebuah sms masuk ke hape saya. Dari seorang sahabat, yang kebetulan adalah Ustadz saya tempat saya menimba ilmu. Beliau memulai sms itu dengan pertanyaan yang sulit dijawab: Sibuk atau tidak, tanya beliau. Saya jawab diplomatis, bisa iya bisa tidak (hehehehehe, soalnya pertanyaan itu artinya pasti mau minta tolong, dan mana ada seorang murid yang mampu menolak permintaan tolong Ustadznya, meski sedang sesibuk apapun).
Berlanjut sms-an dengan beliau, ternyata beliau meminta saya menuliskan sebuah kisah yang cukup mengerikan, agar menjadi ibrah bagi pengemban dakwah lain. Mengerikan karena ini kisah tentang akhwat pengemban dakwah, yang terjerumus ke lubang biawak maksiat, hanya dikarena satu hal : C.I.N.T.A (bolehlah kalau mau mengejanya dengan nada milik band metal –melayu total- D’Bagindaz.)
Hm, masih berbau-bau bulan Februari dengan tanggal khasnya, 14 (Hayo hari apa itu ? jawab aja hari Rabu, wkwkwkwkwk). Jadi masih sangat cocok untuk membahasnya sekarang. Bagaimana kisah selanjutnya ? Saya akan uraikan dibawah berikut.
Alkisah ada seorang perempuan hebat asal Bumi Wali dikenal memiliki ilmu agama yang baik. Bacaan Al Quran nya istimewa, suaranya ketika membaca Al Quran-pun mampu meluluh lantakkan setiap hati pendengar yang haus akan keindahan Al Quran. Hanya, dia belum mengenal aktivitas dakwah, sebelum kemudian ada seorang ustadzah yang mengontaknya dan mengubah cara pandangnya terhadap masalah keumatan.
Dalam sekejap, seperti sebuah intan yang baru digosok, berubahlah perempuan ini menjadi sosok yang aktif dalam dakwah. Perhatiannya terhadap umat begitu kuat, aktivitasnya setiap hari adalah dakwah, status-status FB-nya indah menggetarkan hati, dan tentu saja, cara berpakaiannya serta merta berubah, begitu anggun, begitu tertutup, kerudung panjang dan jilbab yang lebar.
Dia begitu larut dalam dakwahnya, hingga sebuah godaan datang. Godaan yang bagi perempuan-perempuan yang tidak aktif dalam dakwah, adalah hal yang biasa. Apa itu ? berkenalan dengan seorang cowok “gaul”. Yah, mirip-mirip masbrow yang di sinetron. Dialah yang mampu sedikit mengusik perhatian perempuan yang kini telah menjadi “akhwat” ini dari aktivitas keumatan. Mereka berinteraksi, mungkin awalnya diskusi-diskusi, makin akrab, makin dekat, makin mesra, hingga kemudian, sudah susah dibedakan antara interaksi itu dengan term “pacaran”. Tentu saja, ketika diingatkan teman-temannya, akhwat ini berdalih, taaruf, meski lebih cocok disebut pacaran “islami” (sori, gak nemu istilah yang tepat. Maksud saya adalah, pacaran yang diawali dengan diskusi-diskusi keislaman).
Selanjutnya, seperti kisah di sinetron kejar tayang, hubungan mereka sudah makin gak bisa disebut taaruf. Makin gak jelas, mana taaruf, mana diskusi, mana pacaran. Puncaknya, tibalah waktu yang dirasa perlu oleh Ustadzahnya turun tangan. Diingatkan sekali, Cuma ngangguk, dingatkan dua kali, Cuma mesem, diingatkan tiga kali, putuslah sudah. Ngajinya dihentikan.
Sayangnya, peringatan yang sangat keras ini, (dihentikan ngaji itu peringatan keras loh sodara-sodara, karena itu berarti Antum bikin kesalahan syariah yang berat!) ditanggapi dingin oleh sang akhwat. Pelan-pelan tapi pasti, ideologinya mulai luntur. Ketaatannya pada syariah makin merosot, diawali dengan berhenti ngaji, kemudian berlanjut luntur pula kerudung panjang dan jilbabnya. Kembali lagi ke kerudung seksi menggoda. Status –status Fbnya jadi sok romantis, cinta-cintaan melulu. Sungguh jauh berbeda dengan status yang dia buat ketika masih aktif ngaji. Belakangan, kerudungnya ikut lepas, baju panjangnya pun lepas, berganti dengan u can see (my ketiak) dan hot pants.
Dengan tidak lagi ada pengawasan dari teman-teman dakwah dan Ustadzah, akhwat yang telah luntur ini, makin jatuh kepelukan cowok “gaul” tadi. Udah gak ada lagi belenggu – belenggu yang menghambat kebebasan berinteraksi sebagaimana dirasakannya dulu, makin cinta, makin mabuk kepayang, makin intens, makin terbudakkan oleh nafsu, daaaaannnn, laluuuuu, (astaghfirllah hal adzim)... hamil diluar nikah.
Doer!!!!! Kaget, buanget!!! Hanya saja, kemudian terjadilah hal yang paling klise. Bukannya “tanggung jawab” (lagi-lagi terpaksa pake term itu. Meski sebenarnya gak setuju . Gimana bisa dikatakan tanggung jawab kalo beraninya ngehamilin di luar nikah ? Tanggung jawab itu menikahi dulu bukan menghamili dulu. Setuju ?) si cowok itu malah menghilang tak tentu arahnya.
Tinggallah si akhwat ini, meratapi apa yang telah terjadi. Kalau kata Bondan Prakoso dan Fade 2 Black, Ya Sudahlah. Menyesal memang selalu di akhir cerita. Dan, kayaknya gak perlu saya tulis disini kelanjutan ceritanya, karena toh yang perlu menjadi ibrah bagi kita adalah bagaimana kita harus hati-hati dalam menghadapi godaan-godaan. Gharizah Nau, atau Cinta tadi, memang sesuatu yang sudah built in didalam tiap manusia. Tapi ketika kecintaan kita kepada lawan jenis itu melebihi cinta kita kepada Allah dan RasulNya, maka siap-siaplah cinta semu itu menerkam kita kedalam jurang kerusakan dan kebinasaan.
Tak lupa, di akhir kisah ini, mari kita doakan semoga akhwat tadi itu kembali ke jalan yang lurus, dan kembali menyadari jati dirinya sebagai muslimah yang harus taat kepada Allah dan RasulNya.
Aamiin....
(Based Upon The True Story 2011, ditulis, diedit dan sedikit di dramatisir menjadi kisah oleh Irfan Abu Jundi)

I was a gamer

Ustadz Felix Siauw
Permainan Kesia-siaan
Game itu kelalaian, kecuali bila kamu memang hidup mencari nafkah dari sana, itupun dipertanyakan seriusnya engkau dalam mencari nafkah
Kita tahu game itu menghabiskan waktu, bahkan pada yang sampai pada level kecanduan, game itu menghabiskan uang juga
Mencapai level tertentu, menaikkan stats, mendapatkan senjata yang tak semua orang punya, sayangnya semua hanya di dunia maya
Semua itu hanya kebanggaan saat kita bisa log-in di gamenya saja, tapi di dunia nyata, nol. Kita menumpuk amal fatamorgana
Terkadang kita ingin berhenti, tapi sayang akunnya. Kita katakan, nanti kita berhenti main game kalau sudah sampai satu titik, itu alasan saja
Semakin jauh kita melangkah, semakin sulit kita kembali. Satu langkah maju, artinya satu langkah lagi untuk kembali ke titik awal
Sehari lagi kita bertahan pada game yang kita suka, maka lebih susah lagi kita untuk sembuh dari kecanduan. Game memang dibuat begitu
Mirip-mirip maksiat. Selalu kita dapat alasan untuk menunda taubat, untuk menunda hijrah. "Ini yang terakhir", Selalu itu yang kita katakan
Padahal semakin dalam menggali lubang, semakin sulit pula kita memanjat naik. Begitulah nyatanya segala sesuatu yang melalaikan
Sebab saya pun pernah kecanduan game, pernah menjadi begitu. Tapi yakinlah, pada ujungnya adalah penyesalan dan penyesalan
Mengapa tidak waktu yang banyak itu kita gunakan untuk sesuatu yang benar-benar bisa kita banggakan, persiapan untuk akhirat?
Andai level-level itu disamakan dengan juz dalam Al-Qur'an, atau bahkan hanya jumlah surat dalam Kitabullah. Beruntungnya kita
Andai jumlah jam yang sudah kita investasikan dalam game, 1 jamnya untuk 1 hadits saja. Mungkin saya sudah setara Doktor Hadits
Mari hidup semakismal mungkin. Jangan sampai ada penyesalan lagi, manfaatkan hidup selagi ada, bersiap untuk mendapatkan surga ☺️☺️☺️

Delete the free interaction

Gaul Bebas? Coret!

Pertemanan lintas gender alias gaul bebas udah jadi menu keseharian remaja en remaji. Gak di sekolah, gak di rumah, udah biasa aja temenan dengan lawan jenis. Biar eksis dan nggak dianggap alien alias makhluk asing oleh temen sebaya. Karena kalo jaga jarak, alamat dikucilkan dari pergaulan dan bagi remaja itu rasanya nggak nyaman.
Namanya temenan dengan lawan jenis, pastinya nggak sekedar menjalin persahabatan. Kita udah paham kalo laki perempuan itu diciptakan untuk saling tarik menarik satu sama lain layaknya dua kutub yang memiliki muatan magnet. Semakin dekat, semakin kuat tarikannya satu sama lain. Awalnya sih cuman temenan, kelamanan jadi demenan. Pepatah jawa bilang, witing trisno jalaran soko kulino. Rasa cinta mendadak menyeruak dalam kalbu lantaran keseringan ketemu. Ini yang berabe.

Temenan Jadi Demenan
Remaja emang paling betah temenan dengan lawan jenis. Selain menumbuhkan rasa kebersamaan, juga melahirkan rasa simpati, terus empati, lama-kelamaan mulai tumbuh benih-benih cinta di hati. Akhirnya, jatuh hati. Makanya agak-agak mustahil kalo temenan ama lawan jenis itu nggak ada affair. Soalnya banyak yang ngakunya teman tapi tingkahnya kayak orang yang pacaran. Teman tapi mesra.
Emang bukan perkara aneh kalo remaja temenan ama lawan jenis. Dalam kacamata orang tua, dinilai bagus buat menepis kekhawatiran kalo anaknya penyuka sesama jenis (hiii…..). Dalam kacamata psikologi, dianggap penting sebagai ajang sosialisasi untuk perkembangan jiwa remaja. Dan bagi remaja sendiri, jadi keharusan biar ada tempat buat menyalurkan masa pubertasnya. Temenan sekalian nyari demenan. Maunya!
Namun dalam kacamata Islam, temenan dengan lawan jenis berarti membuka pintu masuknya virus merah jambu. Meskipun kita bilang bisa menguasai perasaan, yang udah ngalamin bilang akhirnya perasaan yang menguasai kita. Apalagi kalo temennya punya tampang eye catching, kalo ngobrol nyambung, dan care banget. Langsung deh, tadinya temenan jadi demenan. Kalo pun nggak jadian, tapi sering keliatan mesra-mesraan. Waspadalah!

Pacaran, Potret Pergaulan Bebas
Belon afdhol kalo udah demenan tapi nggak ada ikatan. Khawatir disalip teman, pujaan hati harus segera dimiliki. Rasa cinta udah semestinya dikasih ekspresi. Kalo udah saling cinta, nggak perlu lagi kode. Langsung gaspol!
Siapkan rencana untuk sebuah momen tak terlupakan. Sebuah ‘aksi penembakan’ yang menjadi saat-saat menegangkan bagi para aktivis pacaran. Soalnya, penting banget buat kelanjutan hubungan kasihnya dengan pujaan hati. Kalo ditolak, hubungan cukup sampe level teman (temen apa TTM?). Kalo diterima, yes! Hubungan bisa lanjut ke yang lebih serius. Maksudnya, serius menuju pelaminan? Eits, jangan asal nuduh dong. Maksudnya, serius merhatiin isi dompet pacar. Dan pastinya, serius ngenal pacar luar dalam. Nah lho? Kaya servis mobil aja luar dalam. Hoeks!
Kalo udah jadian, tak sungkan lagi untuk body contact. Bagi orang pacaran, seolah ada aturan tak tertulis yang ’mengizinkan’ mereka untuk saling bersentuhan secara fisik. Mulai dari ’kegiatan biasa’ seperti pegangan tangan, cium kening, plus pipi kiri dan kanan hingga yang mendekati zina seperti pelukan, saling membelai, kissing, necking, atau petting. Kalo udah gini, setan bersorak ngerasa sukses telah menjerumuskan keturunan Adam dan Hawa pada gelimang dosa.
Nggak ketinggalan, keseharian orang pacaran selalu pengen berdua-duaan dengan pasangannya. Dimana saja, kapan aja. Dalam keramaian maupun melipir ke pojokan. Biar bisa ngobrol lebih bebas dan intim diselingi canda tawa mesra yang kian mendekatkan hubungan cinta mereka. Pihak ketiga yang mau ikutan nimbrung, mesti izin dulu. Kecuali setan kali yaa. Soalnya setan kan nggak keliatan, jadi bisa dengan mudah menyelinap diantara mereka dan menggoda hati keduanya untuk mendekati zina.
Dari aktifitasnya, keliatan banget kalo pacaran itu jadi potret pergaulan bebas remaja. Bergaul lebih dekat dengan lawan jenis yang belum halal dalam kacamata Islam. Kalo udah halal mah, seintim apapun pergaulannya insya Allah berkah. Lah, kalo cuman diikat oleh emosi dan tanda cinta sebatas lisan, nggak ada hitam di atas putih, gampang putus nyambung kaya tali jemuran. Hati-hati ah!

Ajang Baku Syahwat
Udah bawaan dari lahir kalo kita punya kebutuhan biologis. Ekspresi naluri mempertahankan keturunan melahirkan ketertarikan pada lawan jenis. Tak sekedar rasa cinta tapi hingga pada pemenuhunan naluri seksual. Makanya, islam menjaga pergaulan antara lawan jenis kalo belum halal. Biar syahwat bisa kita kendalikan. Bukan malah mengendalikan kita.
Aktifitas pacaran itu menjadi ajang baku syahwat. Karena peluang untuk bermaksiat terbuka luas. Ikatan pacaran seolah jadi pembenaran untuk mengekspresikan cinta dari sekedar ucapan hingga hubungan badan. Kalo sudah berduaan, jadi lupa daratan. Lantaran termakan godaan setan. Mendekati zina pun tak sungkan.
Survei PKBI, bahwa 63% remaja di beberapa kota besar telah melakukan seks pranikah. Survei yang dilakukan juga menyebutkan perilaku seks bebas remaja yaitu perilaku ciuman 21.0%, perilaku pelukan 36.7%, perilaku memegang organ reproduksi 9.9%, keinginan berhubungan seksual 9.9%, perilaku petting 1.4%, perilaku intercost atau hubungan seksual 1.1%. (PKBI, 2015).
Survei RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2017 yang dilakukan oleh BKKBN menunjukkan kalo remaja laki-laki maupun perempuan mengaku pertama kali punya pacar di usia 16 tahun. Mereka yang punya pacar kebanyakan mengaku pernah melakukan hubungan seksual dibanding remaja pada umumnya. (tribunnews.com, 01/11/17)
Sudah jelas banget kalo pacaran yang notabene perilaku gaul bebas itu telah menjadi ajang baku syahwat. Meski bilangnya bisa jaga diri, kenyataannya makin lama berhubungan makin mudah terjerumus dalam kemaksiatan. Apalagi kalo udah ketemu momen spesial seperti hari kasih sayang. Pasangan remaja berduyun-duyun merayakan dengan bebas tanpa batas sebagai ekspresi cinta. Padahal modus!
Romantisme dalam perayaan VD memancing para aktivisnya untuk jor-joran dalam mengekpresikan cinta pada pasangannya. Apalagi gaya hidup permisif alias serba boleh dalam berperilaku makin mewabah di kalangan remaja. Sehingga perayaan VD kian hari tak sekedar tukar kado atau candle light dinner aja. Tapi udah menjurus ke arah erotisme dan seks bebas. Nah lho!
Bukan nuduh, cuman fakta di lapangan sepertinya mengiyakan. Yang paling keliatan, adanya peningkatan jumlah pembelian alat kontrasepsi kondom yang didominasi remaja menjelang malam valentine. Pantauan Radar Bekasi, di beberapa minimarket diketahui pembelian kondom meningkat sekitar 30 persen. Rata-rata pembeli kondom masuk dalam kategori remaja atau ABG. (http://jabar.pojoksatu.id/bekasi/2017/02/14/)
Ketika pergaulan bebas merajalela, penyakit sosial akan ikut meramaikan. Banyak kita temukan remaja yang notabene pelajar kedapatan hamil diluar nikah. Akibat pacaran yang kebablasan. Nggak heran kalo data BKKBN 2013 lalu menyebutkan sebanyak 20,9 persen remaja di Indonesia mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah. Ngeri!
Parahnya, ketika ngerasa belum siap untuk punya anak, tak sedikit remaji yang nekat mengaborsi bayi yang dikandungnya. Data Pusat Unggulan Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi pada 2013 juga menyebut, sekitar 2,1 – 2,4 juta perempuan setiap tahun diperkirakan melakukan aborsi. Sebanyak 30 persen di antaranya dilakukan remaja. 
Belum lagi rasa malu yang ditanggung remaji ketika terbongkar aibnya hamil diluar nikah. Ngerasa tak suci dan ujung-ujungnya terjun dalam dunia prositusi. Makin terjerumus dalam gaya hidup seks bebas yang rawan penyebaran penyakit menular seksual hingga HIV/AIDS.
Orang tua, keluarga, pihak sekolah maupun teman sebaya sangat punya alasan untuk terus mengingatkan remaja agar menjauhi pacaran. Terlebih kita sebagai seorang muslim, tak ada celah sedikitpun bagi remaja untuk menjalin asmara sebelum merit dalam ikatan pacaran. Karena dari awal, Islam sudah punya aturan super komplit untuk menjaga pergaulan antar lawan jenis biar nggak bebas.

Gaul Bebas Mengundang Bencana
Gaul bebas di kalangan remaja tak bisa dianggap biasa. Usia puber tak seharusnya jadi pemakluman terhadap ekspresi rasa suka di antara mereka dengan berpacaran. Orangtua pun tak perlu khawatir jika putra atau putrinya tak punya pacar. Boleh jadi mereka tengah menjaga kemuliaannya di masa muda untuk meraih kebaikan di masa tua.
Yang perlu kita khawatirkan justru ketika gaul bebas kian merajalela. Karena akan mengundang bencana. Tak hanya pada pelakunya saja yang bisa terjangkit penyakit menular seksual atau wabah hiv/aids. Tapi juga seluruh masyarakat akan terkena akibatnya jika mendiamkan.
Imam Ibnul Qayyim mengingatkan, “Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bergaul bebas dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan ini termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai melapetaka yang merata. Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan dalam semua perkara yang umum maupun khusus. Pergaulan bebas merupakan sebab berkembangpesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini termasuk sebab kebinasan massal (umat manusia) dan wabah penyakit-penyakit menular yang berkepanjangan.”
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Jika perbuatan zina telah nampak (tersebar) di suatu negeri maka Allah akan membinasakan negeri tersebut.”
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz lebih menegaskan hal ini dalam ucapan beliau, “Dalil-dalil (dari Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam) secara tegas menunjukkan haramnya (laki-laki yang) berduaan dengan perempuan yang tidak halal baginya, (demikian pula diharamkan) memandangnya, dan semua sarana yang menjerumuskan (manusia) ke dalam perkara yang dilarang oleh Allah.
Selain keluarga dan sekolah, negara juga sangat berkepentingan untuk menghentikan gaya hidup gaul bebas. Negara yang bisa menghentikan tayangan-tayangan remaja yang menyajikan keseharian publik figure yang erat dengan pergaulan bebas. Negara yang bisa memberikan sanksi yang tegas pada pelaku zina biar pelakunya kapok dan masyarakat jadi tercegah untuk berbuat hal yang sama.
Terlebih, kita selaku remaja muslim mesti berani katakan tidak pada gaul bebas. Jaga jarak dengan lawan jenis kecuali dalam interaksi yang diperbolehkan. Bentengi diri kita dari bisikan setan dan godaan media yang memprovokasi remaja untuk dekat dengan lawan jenis. Gaul bebas? Coret! [@Hafidz341]

Thursday, February 15, 2018

Choices is yours

Pilihan Untukmu Muslimah

Seorang lelaki yang ringan tangannya untuk bermaksiat, mudah lisannya untuk melaknat, dan itu sebelum dia menikah. Maka adakah jaminan setelah menikah dia berubah?

Dia yang berani memegang tanganmu, mengumbar rayuan bagimu, padahal belum menikahimu. Apa jaminan ia tak melakukan itu pada wanita lain setelah menikahimu?

Pacaran dan selingkuh itu esensinya sama, sama-sama dosa, sama-sama pegang tangan yang belum halal, merayu padahal belum akad, sama-sama maksiatnya

Maka lelaki yang mudah bermaksiat sebelum menikah, maka dia akan cenderung lebih mudah lagi bermaksiat setelah menikah. Karena maksiat itu candu, terus-menerus

Mereka yang terus bermaksiat, terlatih kehilangan rasa takut pada Allah. Bisa anda bayangkan berumah tangga dengan orang yang tak takutkan Allah? Masalah menanti

Berbeda dengan lelaki yang menjaga pikiran, pandangan, dan kehormatannya. Bukan karena tak laku atau tak bisa, tapi karena enggan bermaksiat, takut Allah

Lelaki begini, saat jadi suami juga takut Allah. Ia takut khianat pada akad yang dia ucapan dengan membawa nama Allah. Maka engkau akan dijaganya, dimuliakan olehnya

Ia mengambil dirimu dari orangtuamu dengan nama Allah. Maka ia akan menggantikan peran ayah ibumu dengan apapun yang dia miliki, dia berikan yang terbaik dari dirinya

Dipilalhkan harta halal bagimu, dipilihkan kehidupan terbaik bagimu, dengan ilmu engkau dibimbing, dengan kelembutan engkau dididik, diatas syariat rumahtanggamu dibangun

Kelak saat engkau bermasalah dengannya, dia takkan kasar, dia takkan jahat. Kepergiannya tak mencurigakan, bersamanya menenangkan, sebab Allah selalu diajak serta

Manakah jalan yang engkau pilih Muslimah hamba Allah? Adakah kebahagiaan yang Allah janjikan dalam taat, atau kesengsaraan yang pasti sebab maksiat?

#UdahPutusinAja
#AlFatihStudios

Credit to @AlFatihStudios, artwork oleh mas @yafieg, thanks to both of them 🙂🙂🙂

Affection not Love even desire!

Mengingati Cinta

Bukan kata-kata yang diumbar, tapi keyakinan yang benar. Bukan hanya kalimat-kalimat mesra, tapi tuntunan menuju ke surga

Bukan nafsu yang selalu menuntut pemenuhan, yang menuntut adanya korban, yang hanya berujung pada penyesalan dan airmata

Bukan janji yang berterusan, tapi akad nikah dengan nama Allah dan izin wali. Bukan kumpulan jumpa penuh nafsu, tapi penantian syar'i

Yang jelas bukan bermaksiat dengan pacaran, bayangkan apa itu cinta yang mengizinkan perbuatan nista? Yang Allah larang malah dicari

Seseorang mencari kebahagiaan, yang dia tahu hanya Allah yang mampu memberikan, tapi dia memilih jalan yang Allah murkai

Adalah mencintai Allah melebihi segalanya yang mampu memberi arti. Adalah menaati Allah yang bisa jadi hantaran menuju kebahagiaan

Adalah tanggung jawab, bukan hanya pakaian, makanan dan kediaman. Tapi kenyamanan, ketenangan, kedamaian, bimbingan, terutama keimanan

Kita berbicara tentang perjuangan, dakwah, kebenaran, dan membina ummat, disaat yang sama mendidik anak-anak pelanjut generasi Islam

Ada pengorbanan, ada kesulitan, banyak kesabaran dan menuntut keikhlasan. Tapi semua jelas dijalani di jalan Allah, bersama Allah

Mari mengingati cinta yang membawa kita lebih mendekat pada Allah, bukan yang melalaikan dan membuai nafsu duniawi yang akan disesali

Mari mengingati cinta yang jadi jalan pelengkap setengah agama, cinta yang Allah perintahkan pada siapapun yang Dia cintai ☺️☺️☺️

Jalan Cinta

Kalau kamu merasa bahwa cinta itu cukup dengan dipegang-pegang, ya silakan saja pacaran, karena kamu sudah batasi cinta hanya sebatas fisik saja

Kalau kamu merasa bahwa romantis itu hanya sekedar kata-kata indah di telinga, tanpa tanggung jawab, ya silakan saja digombali, sampai kapanpun kamu mau

Kalau kamu merasa bahwa kasih sayang itu cukup dengan bunga dan cokelat, silakan rayakan atau peringati Valentine Day, artinya kamu belum layak tahu kasih sayang sejati

Tapi kalau boleh saran, lihat kesudahan mereka yang pacaran, kalau nggak diputusin, muncul kebosanan. Kalaupun nikah, kamu dapat lelaki yang berani maksiat sebelumnya

Kata-kata romantisme belaka takkan ada habisnya, semua bisa melontarkan, tak perlu iman, makanya Shakespeare punya karya Romeo & Juliet, sekedar romantis, nggak cukup

Yang tahun ini bilang "You're My Valentine", kasih bunga dan cokelat, tahun depan bisa jadi kasih ke wanita beda lagi, toh tahun kemarin sebelum kamu juga beda kok

Pikir-pikir lagi, buat masa depan, hidup kayak apa sih yang kamu idam-idamkan? Pikirmu setiap hari hidupmu bakal kayak sinetron yang semua perfek?

Berapa banyak wanita yang sudah menyerahkan segalanya pada lelaki, mereka pikir lelakinya untuk selamanya, dan semua menyesal pada akhirnya, tapi semua sudah terlanjur

Berapa banyak lelaki mundur setelah dapat apa yang dia mau? Mendadak wanita itu sudah tidak lagi ada artinya? Sebab mereka yang maksiat, pasti ada bosannya

Serius kamu nggak pingin seperti Rasulullah dan Khadijah? Atau seperti Ali dan Fatimah? Pernah nggak sih kamu nanya kenapa Allah berikan bahagia dalam rumahtangga mereka?

Adalah mengetahui arah datangnya cinta rahasianya. Dan cinta itu dari Allah, salah besar kalau kamu cari pada arah lain, dan cinta itu Allah sudah janjikan dalam ketaatan

Sudah nggak usah lagi habisin waktu, trial and error buat sesuatu yang bakal kamu sesali. Jalan bahagia itu sudah ada, Rasulullah sudah teladankan, jalan cinta itu Islam

Ucap Cinta Padahal Nafsu

Hari Kasih Sayang adalah topengnya, wajah sebenarnya adalah Pelampiasan Nafsu. Sebab saat itulah nafsu dianggap seolah sebagai cinta, padahal bukan samasekali

Ujarnya kasih sayang, padahal orangtuanya tak diperhatikan, katanya kasih sayang, tapi hanya memirkan nikmat saat ini, tanpa tanggung jawab di masa depan

Cinta diperlambangkan dengan cokelat yang mudah meleleh tersengat panas, dan bunga yang layu termakan masa. Tanpa bicara ketaatan, keseriusan dan kesungguhan

Lalu pacaran dianggap sebagai perayaan cinta, padahal tak ada bedanya antara pacaran dan perselingkuhan. Sama-sama menikmati yang bukan haknya, sebelum waktunya

Cinta tak menjadikan diri menghamba kepada nafsu, cinta itu justru energi yang datang saat kita menghamba pada Allah. Cinta tapi maksiat, itu sanga-sangat dusta

Andai ada hubungan yang Allah ridhai pada lelaki dan wanita selain pernikahan, tentu para sahabat sudah mencontohkan, tentu Rasulullah mengizinkan aktivitas itu

Tapi justru Maryam dikisahkan kemuliannya dalam Al-Qur'an saat mampu menjaga diri dari lelaki asing untuk tidak mendekati dirinya, menjaga kesucian dirinya

Begitupun Aisyah dijaga kehormatannya oleh Allah dari tuduhan yang tak pantas baginya, bahwasanya ada lelaki mendekati dirinya selain Muhammad saw

Namun begitu mudah Muslimah ummat Nabi Muhammad disentuh, dipegang, diraba oleh lelaki, dengan topeng pacaran nan nista? Dengan dusta ini amalan kasih?

Cinta itu dari Allah, jangan bohongi cinta dengan kemaksiatan, sejatinya cinta itu sudah Allah atur dalam ikatan pernikahan, itulah cinta yang bertanggung jawab, hingga surga

#UdahPutusinAja
#FelixSiauw
#AlFatihStudios

Tuesday, February 13, 2018

Poetry for perception

Persepsi
Kata yang bagi sebagian orang mudah dipahami
Namun tidak demikian bagi sebagiannya lagi
Namun kata ini kunci untuk hidup lebih fitri
Bagaimana tidak semua kejadian yang kita alami
Bisa menjadi ladang kebaikan dimata ilahi Rabbi
Kata ini bisa mengubah lemah jadi berenergi
Kata ini bisa menentukan makanan dilahap habis atau dibiarkan basi
Kata ini bisa membuat kita emosi atau empati
Kata ini bisa menjadi hambatan atau solusi
Kata ini bisa memperbanyak musuh atau teman sejati
Allah yang Maha Tinggi menyampaikan dalam kitab Suci
Bahwa Ia tidak akan mengubah nasib abdi sebelum mengubah dirinya sendiri
Trus apa yang bisa diubah? Yang tidak melanggar aturan syar'i
Ada yang mengubah gaya agar lebih trendi
Ada yang mengubah wajah dengan operasi
Ada yang mengubah cara bicara lebih mirip puisi
Seperti tulisan yang sedang ditulis ini hihihi
Namun yang menjadi kunci paling penting adalah persepsi
Kalau sobat bingung memahami tulisan ini
Itu tandanya kita perlu diskusi sambil ngopi
Yuk Mari diskusi, agar persepsi kita sesuai tuntutan ilahi Rabbi
Oleh yang lagi belajar menulis yang biasa dipanggil Wendi, Abi Alfatih Khairi Dyfsi hihihi😁

Super Daddy, got inspired?

PAK SAIFUDDIN, KISAH JUANG WALISANTRI GONTOR YANG MENGINSPIRASI
-----------------
Cerita yang panjang, tapi mudahan bermanfaat. :-)
----------------
KEMARIN, saya menjenguk anak lagi di Gontor Putri 2, Mantingan. Saya dapat informasi putri saya tertusuk paku. Saya khawatir lukanya parah lalu terancam kena tetanus. Makanya tanpa pikir panjang saya langsung cuss pergi ke Pondok Gontor Putri.
Karena bukan hari libur, suasana Bapenta (ruang tunggu tamu) sangat sepi. Hanya ada dua walisantri yang saya jumpai. Salah satunya Pak Saifuddin yang fotonya saya pajang ini. Gagah kan? Hehee.
Selama beberapa kali mengunjungi Pondok Gontor Putri, saya tak pernah berjumpa dengan beliau. Pertemuan sore kemarin, adalah kali pertama saya berjumpa dengannya. Walaupun demikian, kami cepat akrab.
Pak Saifuddin adalah tipe orang yang senang bercerita. Sementara saya, adalah seorang yang senang mendengarkan orang bercerita. Maka kloplah sudah kami berdua. :-)
Pak Saefuddin adalah seorang walisantri. Anaknya, Nurbainah seangkatan dengan anak saya yang masih duduk di kelas 1 KMN (setara dengan kelas 1 SMP) Gontor Putri 2 Mantingan. Asrama anaknya sama dengan Asrama yang ditempati putri saya.
Pak Udin mengaku bekerja sebagai kuli bangunan. Ia berasal dari Dukuh Lo Bulakamba, Kabupaten Brebes. Jarak tempat tinggal beliau dari Pondok Gontor Mantingan sekitar 300 Km atau sekitar 10 jam perjalanan dengan menggunakan bis umum.
Selama anaknya mondok di GP2, ia mengaku telah belasan kali mengunjungi anaknya. Tidak menggunakan bis umum, tapi menggunakan motor roda dua.
Pak udin bercerita, kalau ia berangkat dari kampungnya pukul 9 malam, maka ia akan sampai di GP2 sekitar pukul 7 pagi. Selama 10 jam menempuh perjalanan itu, Pak Udin hanya berhenti 3-4 kali.
Di tengah perjalanan itu, seringkali Pak Udin menerobos hujan. Tapi ia tak peduli. Ia enggan berhenti walau rintik hujan tajam menerjang.
“Kalau menunggu hujan berhenti, saya tak bakalan sampai. Waktu saya akan habis di perjalanan”, ujar Pak Udin sambil tersenyum.
Semua itu ia lakukan demi anaknya, Nurbainah. Nurbainah adalah putri pertamanya. Anak keduanya juga seorang perempuan. Sekarang masih duduk di kelas 5 SD.
"Saat masih remaja, saya pernah sangat ingin belajar di pesantren. Tapi sayang, ayah saya tak mengijinkan. Saya diminta ayah saya mengurus adik-adik saya serta membantu ayah saya mencari nafkah buat menghidupi keluarga. Akhirnya saya harus memendam cita-cita saya", ujarnya.
Pak Udin terpaksa harus mengikuti permintaan ayahnya. Setelah menamatkan sekolah dasar, Pak Udin tak melanjutkan sekolahnya. Ayahnya tak mampu membiayai sekolahnya. Sementara tenaganya sangat diperlukan untuk mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Namun, pada saat itu, Pak Udin bernazar bahwa jika nanti ia memiliki anak, maka anaknya harus bisa sekolah di Pesantren. “Tak apalah jika saat ini saya tak tak bisa sekolah di pesantren. Tapi anak saya nanti harus bisa”, begitu cerita Pak Udin mengenang masa mudanya.
Saat telah dianugrahi anak, Pak Udin mendidik anak-anaknya agar giat belajar. Anak-anaknya harus bisa belajar di Pondok agar dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi darinya.
Nurbainah, putri tertuanya itu lalu tumbuh sebagai anak yang cerdas. Menurut Pak Udin, anaknya selalu rangking satu di kelas. Prestasinya belajarnya juga sangat menonjol di seluruh kecamatan. Anaknya bahkan sering dikirim mewakili kecamatan untuk mengikuti berbagai lomba di tingkat Kabupaten. Dan selalu menang.
Saat lulus Sekolah Dasar, seorang kepala sekolah SMP negeri menawarkan putrinya masuk tanpa syarat apapun. Bahkan tanpa membayar biaya sepeserpun. Tapi tawaran itu ditampik Pak Udin. Pak Udin tetap fokus pada tekadnya. Ia tetap ingin menyekolahkan anaknya di pesantren.
“Lalu kok bisa pilihannya di Gontor, Pak? Emang dapat informasi dari mana?”, tanya saya.
“Dari Internet!”, ujarnya.
Pak Udin lalu bercerita ia tak punya satupun teman yang bisa ditanyai tentang pesantren terbaik. Rata-rata teman seprofesinya tak tamat SD pula. Walau demikian Pak Udin ternyata bukanlah manusia gaptek. Ia mencari informasi lewat internet.
“Trus apa yang Bapak ketikkan saat cari informasi di Internet?”, tanya saya penasaran.
“Saya ketik ‘pesantren modern’ saja. Trus keluar Pesantren Modern Darussalam Gontor”. Ujar Pak Udin polos.
Sejak itu, ia mencari informasi yang berkaitan dengan Pondok Modern Gontor Darussalam. Informasi yang ia dapatkan itu lalu ia ceritakan pada anaknya. Ia bilang ke anaknya tentang kehebatan-kehebatan PM Gontor. Ia juga bilang pada anaknya, bahwa ia akan dapat cepat menguasai bahasa asing jika belajar di pesantren itu.
Ternyata anaknya sangat berminat. Pak Udinpun tambah bersemangat.
Pak Udin pun mencari informasi lagi tentang biaya masuk yang diperlukan dan aneka persyaratan lainnya lewat internet. Ia mencatat semuanya. Dari internet itu ia mengetahui bahwa biaya awal yang harus ia siapkan untuk masuk di PM Gontor sebesar Rp 5,3 juta.
“Saat itu saya tak punya uang sepeserpun. Jangankan uang tabungan, uang untuk makan sehari-hari saja seringkali kami kesulitan. Tapi saya berdoa kepada Allah siang dan malam. Saya yakin Allah Maha Kaya. Ia pasti akan mencukupi kebutuhan hambanya. Pasti!”, jelas Pak Udin mantab.
Lalu Pak Udin berikhtiar. Ia telah merencanakan berangkat ke Pondok Gontor Mantingan pada tanggal 3 syawal. Masih ada beberapa hari untuk menyiapkan uang untuk mendaftarkan anaknya ke pesantren itu. Sayangnya semakin dekat waktu keberangkatan, Pak Udin tak kunjung mendapatkan rejeki.
“Minimal saya harus punya uang Rp 10 juta. 5,3 juta untuk biaya masuk. Sisanya untuk perbekalan dan membeli perlengkapan mondok anak saya. Tapi hingga 3-4 hari jelang keberangkatan, saya belum mendapatkan uang sepeserpun”, jelasnya.
Tapi, tak disangka-sangka satu hari sebelum keberangkatan, Pak Udin mendapatkan rejeki. “Saya tak tau dari mana. Ada yang tiba-tiba membayar hutang, ada pula yang memberikan pekerjaan”, cerita Pak Udin.
Singkat cerita, Pak Udinpun akhirnya berangkat bersama anaknya dengan bekal uang Rp 10 juta di tangan. Saat itu berangkat dengan menggunakan bis umum. Ia tak berani naik motor karena tak tahu arah jalan.
Setelah mendaftarkan anaknya di Gontor Putri, iapun meninggalkan anaknya di pesantren itu. Ia harus pulang kampung.
“Saya tak mungkin lama-lama menunggui anak saya. Saya harus bekerja kembali agar bisa menafkahi keluarga. Maka dengan berat hati, saya menitipkan anak saya yang masih kecil itu pada orang tua salah satu calon santri. Setelah itu saya langsung balik kampung. Saya harus bekerja lagi”, ujarnya.
Menjelang pengumuman, Pak Udin kembali lagi ke Pondok Putri Mantingan. Kali ini ia mengendarai motor bebeknya. Ia beralasan, menggunakan motor lebih hemat. Kalau naik kereta atau bis biayanya bisa 90 ribu. Kalau naik motor hanya perlu mengisi bensin full tank sebanyak dua kali. Biayanya hanya sekitar Rp 40 ribu.
Setelah merayapi jalan berdebu dan terik matahari di sepanjang jalan, Pak Udinpun sampai di Pondok Gontor Putri 1 Mantingan untuk mendengarkan pengumuman.
Sayangnya, hingga pengumuman terakhir, nama anaknya tak kunjung disebutkan oleh pengelola pondok. Itu berarti anaknya tak diterima di Pondok idaman ayah dan anak itu.
Kedua insan itu menangis tersedu-sedu sambil berpelukan. Sedih karena harus menerima kenyataan putrinya tak lulus ujian.
Namun, Pak Udin tak berlarut dalam kesedihan. Ia tetap bertekad, anaknya tetap harus bisa sekolah di Pondok idamannya. Dan ia yakin bahwa Allah pasti akan memberikan jalannya.
Akhirnya Pak Udin berencana memasukan putrinya ke Pondok Alumni. Pondok Alumni adalah pondok yang didirikan oleh Alumni Pondok Modern Gontor. Pondok Alumni ini biasanya membuka pendaftaran di Pondok Gontor untuk menampung calon santri yang gagal lolos pada ujian masuk.
Tanpa menunggu lama, Pak Udin langsung mendaftarkan anaknya di Pondok Alumni. Ia berharap tahun depan anaknya bisa mencoba lagi ikut ujian masuk di Pondok Modern Gontor Putri.
Ayah dan anak itu berpantang pulang surut ke belakang. Perjuangan tetap harus dilanjutkan. Warbiyassah!
Maka hari itu pula, Pak Udin membawa anaknya menggunakan motor bebek SupraX andalannya untuk mendaftar ke Pondok Alumni di daerah Jawa Timur. Setelah menempuh perjalanan darat selama 3 jam, Pak Udin sampai di Pondok Alumni itu lalu mengurus pendaftaran masuk anaknya.
Setelah selesai, Pak Udin lalu bergegas pulang. Ia harus kembali ke kampung karena perbekalannya sudah habis. Ia harus kembali bekerja agar dapat membiayai perjuangannya menwujudkan cita-cita.
Setahun setelah mondok di Pondok Alumni, Pak Udin mengajak anaknya untuk mendaftar kembali ke Pondok Gontor Putri Mantingan. Anaknya ternyata masih bersemangat.
Sayangnya, saat itu Pak udin tak mempunyai dana untuk membayar uang pendaftaran anaknya.
“Saya kembali harus menyiapkan uang pendaftaran sekitar lima juta dan uang untuk biaya perlengkapan nyantri dan perbekalan sekitar 5 juta. Minimal saya harus punya 10 juta lagi. Dan saya tak punya uang sepeserpun saat itu”, ujar Pak Udin.
Pak Udin terus berikhtiar. Sembari memohon kepada Allah siang dan malam.
Ia sangat yakin Allah akan memenuhi kebutuhannya. “Saya sangat yakin Allah pasti akan memenuhi kebutuhan hambanya. Saya kan tak meminta rejeki untuk hura-hura. Saya hanya meminta rejeki untuk kebutuhan anak saya dalam menuntut ilmu agama. Dan saya yakin Allah pasti mengabulkannya”, cerita Pak Udin.
Dua hari menjelang keberangkatan uang yang diharapkan tak kunjung ada. “Eh sehari sebelum berangkat, tiba-tiba Allah memberi saya rejeki. Saya mendapatkan uang yang jumlahnya pas dengan kebutuhan saya. Dan uang yang saya dapat itu bukan uang hasil utangan. Uang itu hasil dari kerja yang saya lakukan sebelumnya”, ujar Pak Udin.
Dengan bekal uang ngepas itu, ia berangkat kembali menggunakan motor bebek kesayangannya, menjemput anaknya di Pondok Alumni lalu mendaftarkan kembali ke Pondok Gontor Mantingan. Perjalanan yang ia tempuh lebih dari 13 jam. 10 jam menuju ke Mantingan, 3 jam menunju Pondok Alumni. Esoknya ia kembali lagi ke Pondok Gontor Mantingan untuk mendaftarkan anaknya untuk yang kedua kali.
“Allah Maha Baik. Saat pengumuman, alhamdulilah anak saya diterima di Gontor Putri dua”, ujar Cerita Pak Udin. Matanya berkaca-kaca.
Padahal saat itu, cerita Pak Udin, saudara dan teman-teman di kampungnya banyak yang mencemooh tekad Pak Udin untuk menyekolahkan anaknya di Gontor. “Bahkan ada yang bilang bahwa Gontor itu sekolah orang kaya, sekolah para pejabat, sekolah anak-anaknya menteri. Sementara saya hanyalah orang kampung, kuli bangunan, hanya tamat sekolah dasar. Tak mungkinlah saya bisa menyekolahkan anak saya di pondok hebat ini”, lanjut Pak Udin dengan logat banyumasan yang kental.
“Tapi saya tak peduli. Saya hanya percaya bahwa Allah pasti akan membantu saya. Dan Alhamdulillah anak saya dapat diterima di pondok idaman kami ini”, ujar Pak Udin.
Pak Udin lalu menceritakan prestasi anaknya saat mondok di Gontor Putri 2. Ia bilang bahwa anaknya baru saja dikukuhkan sebagai MISS LANGUAGE di Pondok Gontor Putri 2.
Miss Language adalah sebuah predikat yang diberikan kepada santriwati yang sangat menonjol dalam penguasaan bahasa arab dan bahasa Inggris. Ruang lingkup predikat itu bukan hanya satu kelas saja, tapi meliputi kelas 1 hingga kelas 3 yang jumlahnya bisa ribuan santri.
Hal itu berarti diantara ribuan santriwati kelas 1 hingga kelas 3 se-gontor putri 2, Nurbainah, putri kesayangan Pak Saefuddin adalah santriwati terbaik dalam penguasaan bahasa asing.
Saat menceritakan prestasi anaknya sebagai Miss Language itu, Pak Udin meneteskan air mata, sementara saya...sudah lebih dulu meneteskan air mata saiyyah ....hik-hik. :-(
Ayah yang hebat!
---***---
Beni Sulastiyo
Jogja, 13.2.2018

Gaul bebas is failure

GAUL BEBAS YANG SALAH GAUL
Oleh : Nurfitrianti Vivi - Korda Muslimah Karim Makassar
94 tahun kurang 20 hari kaum Muslim kehilangan penjaga. Penjagaan tehadap aqidah. Selama itu pulalah berbagai pemikiran bathil merasuk ke dalam jiwa umat Muhammad akhir zaman.
Berawal dari paham nasionalisme dari seorang presiden pertama negara baru yang digelari sebagai ayah bangsa Turki skaligus pemeran utama hancurnya sebuah asas (Islam) menghilangkan mutiara yang tak berpenjaga tersembunyi didasar lautan tinta Cordova atas tangan tangan terlaknat kafir harbi fi'lan.
Hingga paham itu pun beranak pinak melahirkan virus 'sipilis' yakni sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Sampai hari ini masih meninabobokkan raksasa yang pernah berkuasa selama 14 abad.
Virus ini telah menyerang otak muda mudi dan menghembuskan nafas beracun dengan ruh pragmatis berbalut individualis dan pergaulan bebas.
Mencemaskan...
Seakan abadi dalam fatamorgana dunia dengan ketidaksiuman terhadap kicauan iblis yang akan menjadikan indah pada pandangan manusia suatu perbuatan dosa. Kemudian menelurkan bibit-bibit para pecinta al wahn. Itulah mimpi dunia yang selalu menggoda sang jiwa mereka. Bagaikan istana namun akan tenggelam dalam bara api keabadian sebab mereka buta.
Inilah strategi para pembuat makar melalui episode ghazul fikr. Alunan gaya hidup yang berani membelakangi kiblat tanpa rasa bersalah. Selain itu juga mengadopsi budaya nyontek dengan rumus F pangkat enam yaitu Fun, Food, Fashion, Film, Football, dan Freesex. Rumus ini berhasil menyandarkan kebahagiaan dimata manusia yang tak pernah ada puasnya. Bertingkah serba kebarat-baratan namun tak kritis dalam berfikir bahkan jauh dari paradigma istidlal (berfikir dengan dalil, penj.)
Terciptalah pembodohan secara sistemik. Terhipnotis dari hawa nafsu liberal yang mengatasnamakan hak asasi manusia lalu mengagungkan kebebasan yang kebablasan.
Pesona rona noraknya cinta picisan telah merenggut kehormatan para remaja putri dipuncak per empat belas fibrayir. Paham gaul bebas yang salah gaul inilah yang mengotori harumnya nama bangsa ini untuk dipermalukan dimata dunia.
Bagaimana tidak, pornoaksi dan pornografi serta freesex dan aborsi mendapat peringkat tertinggi diantara negara - negara mayoritas berpenduduk muslim. Sungguh prestasi yang sangat memprihatinkan. Dan mirisnya lagi, kerusakan ini tak mendapat hirau dari penguasa. Tak heran, para pejabat sebut saja PEnjahat JABATan sebab mereka terlalu taat pada hawa nafsu serakah yang haus akan kekuasaan di bawah naungan kapitalis yang rakus, uang rakyat pun disikat. Tak tahu malu.
Sudah menghalalkan segala cara namun pada akhirnya juga meraih gelar ‘koruptor’. Tak ada yang terbebas dari debu – debu kriminal selama berada dalam lingkaran setan demokrasi. Terjadilah peristiwa ketidakadilan di negeri pembebek. Formalitas dari nilai – nilai sila yang lima di atas berhala burung garuda, kedzaliman dan termasuk masalah pergaulan bebas yang nyata memunculkan illat dan dalih ke permukaan terkesan dipaksakan hanya untuk memangkas pohon yang akarnya sudah rusak tapi tidak dicabut.
Hanya sekedar mengganti rezim dengan wajah baru justru malah menambah permasalahan. Masih keukeh untuk tetap tidak menyalahkan sistem dengan alasan hidup beragam. Bahkan kewajiban kifayah yang mulia atas dasar keyakinan ummat Muhammad di akhir zaman pun dilarangnya untuk ditularkan. Betapa angkuhnya memaksa manusia untuk tidak taat kepada Rabbnya. Ilusi demokrasi.
Maka terlaknatlah wahai para pencipta konspirasi. Penghidupan yang sempit bagi mereka yang bertahkim kepada thogut dengan mengatakan sesuatu terhadap apa yang disebut – sebut oleh lidahnya secara dusta untuk mengada – adakan kebohongan kepada sang pembuat hukum (ALLAH SWT.).
Tujuh hari tujuh malam, tujuh belas kali meminta shiratal mustaqim. Tetapi menolak pengemban dakwah yang datang menawarkan hukum syara' untuk diterapkan. Padahal shiratal mustaqim tidak akan bisa terwujud selama mengadopsi sistem kufur. Kesadaran akan diam beriman hanya mengalirkan dosa investasi. Maka kemarahan singa – singa Islam membuncah dan terus menajamkan taringnya. Siap membongkar makar meski akan berhadapan dengan ancaman kelas dan bahaya ideologi yang menantang. Hingga akhirnya meruntuhkan peradaban kufur melalui ghazul fikr.
Tak ada alasan untuk tidak mengokohkan laskar sang pembawa panji revolusioner sejati di negeri Madinah kedua yang akan terbentang hingga ke bumi Kinanah.
Hanyutkan monster nasionalis beserta anak-anaknya 'sipilis’ demokrasi dalam lautan air mata dan darah para pejuang perindu perubahan hakiki melalui lisan amar ma’ruf nahi mungkar di tangan para calon syuhada yang senantiasa ikhlas dan istiqamah untuk mewujudkan janji takkunu Khilafah ala minhaji nubuwwah yang berangkat dari “intanshurullaha…sampai akhirnya tiba…yanshurukum” atas kehendak-Nya (QS. Muhammad:7)
Kami Muslimah KARIM Makassar mengikut sertakan diri bersama dalam barisan Komunitas-komunitas Islam lainnya di Makassar yang telah memenuhi ajakan dari Komunitas Sahabat Surga sebagai penyelenggara untuk ikut dalam aksi damai on the spot dengan mengkampanyekan #TolakValentineDay #PemudaIslamAntiGaulBebas ahad, 11 februari 2018 di Pantai Losari Makassar.
#RoyatulIslamHidupSelamanya
#MuslimahKarimMakassar
#KarimIndonesia

Kasih sayang is affection not love

VALENTINE: Maksiat Berbungkus Kasih Sayang
(Irena Handono, founder IRENA CENTER Foundation)

Meski nasihat-nasihat, imbauan-imbauan para ulama, ustadz-ustadzah tentang Valentine selalu didengungkan tiap bulan Pebruari, tapi ternyata masih banyak orang tua para remaja yang masih berpemahaman salah tentang Valentine’s Day. Valentine hanya dianggap sebagai budaya remaja modern saja. Padahal ada bahaya besar di balik Valentine yang siap menerkam para remaja. Ini yang tidak disadari para orang tua.

Tiap bulan Februari, remaja yang notabene mengaku beragama Islam ikut-ikutan sibuk mempersiapkan perayaan Valentine. Walau banyak ustad-ustazah memperingatkan nilai-nilai akidah Kristen yang dikandung dalam peringatan tersebut, namun hal itu tidak terlalu dipusingkan mereka. "Aku ngerayain Valentine kan buat fun-fun aja...." begitu kata mereka.

Tanggal 14 Februari dikatakan sebagai ‘Hari Kasih Sayang’. Apa benar? Mari kita tilik sejarahnya.

Siapakah Valentine?
Tidak ada kejelasan, siapakah sesungguhnya yang bernama Valentine. Beragam kisah dan semuanya hanyalah dongeng tentang sosok Valentine ini. Tetapi setidaknya ada tiga dongeng yang umum tentang siapa Valentine.

Pertama, St Valentine adalah seorang pemuda bernama Valentino yang kematiannya pada 14 Pebruari 269 M karena eksekusi oleh Raja Romawi, Claudius II (265-270). Eksekusi yang didapatnya ini karena perbuatannya yang menentang ketetapan raja, memimpin gerakan yang menolak wajib militer dan menikahkan pasangan muda-mudi, yang hal tersebut justru dilarang. Karena pada saat itu aturan yang ditetapkan adalah boleh menikah jika sudah mengikuti wajib militer.

Kedua, Valentine seorang pastor di Roma yang berani menentang Raja Claudius II dengan menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan dan menolak menyembah dewa-dewa Romawi. Ia kemudian meninggal karena dibunuh dan oleh gereja dianggap sebagai orang suci.

Ketiga, seorang yang meninggal dan dianggap sebagai martir, terjadi di Afrika di sebuah provinsi Romawi. Meninggal pada pertengahan abad ke-3 Masehi. Dia juga bernama Valentine.

Ucapan ”Be My Valentine”
Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” mengatakan, kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut syirik, artinya menyekutukan Allah Subhannahu wa Ta’ala. Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut Tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri!

Tradisi penyembah berhala

Sebelum masa kekristenan, masyarakat Yunani dan Romawi beragama pagan yakni menyembah banyak Tuhan atau Paganis-polytheisme. Mereka memiliki perayaan/pesta yang dilakukan pada pertengahan bulan Pebruari yang sudah menjadi tradisi budaya mereka. Dan gereja menyebut mereka sebagai kaum kafir.

Di zaman Athena Kuno, tersebut disebut sebagai bulan GAMELION. Yakni masa menikahnya ZEUS dan HERA. Sedangkan di zaman Romawi Kuno, disebut hari raya LUPERCALIA sebagai peringatan terhadap Dewa LUPERCUS, dewa kesuburan yang digambarkan setengah telanjang dengan pakaian dari kulit domba.

Perayaan ini berlangsung dari 13 hingga 18 Pebruari, yang berpuncak pada tanggal 15. Dua hari pertama (13-14 Februari) dipersembahkan untuk Dewi Cinta (Queen of Feverish Love) Juno Februata. Di masa ini ada kebiasaan yang digandrungi yang disebut sebagai Love Lottery/Lotre pasangan, di mana para wanita muda memasukkan nama mereka dalam sebuah bejana kemudian para pria mengambil satu nama dalam bejana tersebut yang kemudian menjadi kekasihnya selama festival berlangsung.

Seiring dengan invasi tentara Roma, tradisi ini menyebar dengan cepat ke hampir seluruh Eropa. Maka pada tahun 469 M upacara Roma Kuno Lupercalia ini diubah menjadi Saint Valentine's Day. Pada 14 Februari 498, perayaan Valentine resmi beredar di seluruh Eropa.

Jelas sudah, Hari Valentine sesungguhnya berasal dari tradisi masyarakat di zaman Romawi Kuno, masyarakat kafir yang menyembah banyak Tuhan juga berhala.

Valentine di Indonesia
Valentine’s Day disebut ‘Hari Kasih Sayang’, disimbolkan dengan kata ‘LOVE’. Padahal kalau kita mau jeli, kata ‘kasih sayang’ dalam bahasa inggris bukan ‘love’ tetapi ‘Affection’. Tapi mengapa di negeri-negeri muslim seperti Indonesia dan Malaysia, menggunakan istilah Hari Kasih Sayang. Ini penyesatan.

Makna ‘love’ sesungguhnya adalah sebagaimana sejarah GAMELION dan LUPERCALIA pada masa masyarakat penyembah berhala, yakni sebuah ritual seks/perkawinan. Jadi Valentine’s Day memang tidak memperingati kasih sayang tapi memperingati love/cinta dalam arti seks. Atau dengan bahasa lain, Valentine’s Day adalah HARI SEKS BEBAS.

Dan pada kenyataannya tradisi seks bebas inilah yang berkembang saat ini di Indonesia. Padahal di Eropa sendiri tradisi ini mulai ditinggalkan. Maka, semua ini adalah upaya pendangkalan akidah generasi muda Islam.

Monday, February 12, 2018

Door of change

KEDZALIMAN; PINTU PERUBAHAN
Ust. Choirul Anam
Perubahan itu sunnatullah, sesuatu yang pasti terjadi. Tak ada yang tidak mengalami perubahan, termasuk rezim, bahkan sistem. Mau dipertahankan dengan cara apapun, kalau sudah saatnya berubah, maka perubahan tak akan bisa dihindari.
Perubahan, sebagaimana kejadian lain, meski merupakan sunnatullah, terjadi dengan mekanisme dan pola tertentu yang teratur.
Saat rezim berkuasa, biasanya merasakan dua hal sekaligus: kenikmatan sekaligus ketakutan. Mereka mendapatkan kenikmatan karena "semua fasilitas dunia" didapatkan nyaris tanpa usaha. Namun, selain kenikmatan, mereka juga merasa ketakutan bahwa kekuasaannya akan berakhir. Apalagi jika di luar rezimnya ada orang atau sistem yang berpotensi mengakhiri kekuasannya.
Lalu mereka berusaha sekuat tenaga membungkam orang atau menghancurkan sistem yang berpotensi menggantinya. Dan pada saat ketakutannya semakin meningkat, kebijakan dan tindakannya semakin tidak rasional dan semakin dzalim.
Mereka lupa bahwa semakin mereka berbuat dzalim, maka rakyat semakin tidak simpati kepada mereka dan semakin melepaskan kepercayan terhadapnya. Artinya, semakin mereka berusaha mempertahankan kekuasaannya, justru semakin dekat dengan kehancuran kekuasaannya.
Hal ini mirip dengan semua problem psikis lainnya. Semakin takut kalah, orang biasanya semakin tegang sehingga membuatnya tidak lincah, justru akhirnya membuatnya kalah. Semakin takut salah, orang biasanya semakin panik dan justru membuatnya semakin salah.
Jadi, tindakan dzalim sebuah rezim sebetulnya adalah tindakan menggali kuburnya sendiri. Semakin mereka berbuat dzalim berarti semakin dalam mereka menggali tempat peristirahatan terakhirnya.
*****
Jika kedzaliman dilakukan oleh rezim dan benar-benar dirasakan umat, maka umat akan segera mencabut mandatnya dan memberikan kepada rezim lain yang dianggap lebih berpihak kepada umat.
Jika kedzaliman dilakukan oleh sistem dan benar-benar dirasakan umat, maka umat juga akan segera mencabut mandatnya dan memberikan kepada sistem lain yang dipahami akan memberikan keadilan dan menjauhkan kedzaliman dari umat.
Namun, memahami kedzaliman sistem itu lebih sulit dan lebih butuh waktu lama, dibanding memahami kedzaliman rezim. Memahami sistem pengganti juga lebih sulit memahami rezim pengganti.
Memahami kedzaliman sistem butuh pemikiran yang cemerlang, perasaan yang peka, daya ingat yang kuat, dan panduan ideologis yang jelas.
Tanpa semua itu, umat akan selalu lupa apa yang menimpanya. Mereka hanya dilenakan oleh perasaan bahwa rezim sekarang sangat dzalim, tapi tak pernah ingat bahwa rezim sebelumnya sama dzalimnya, dan tidak sadar bahwa rezim yang akan datang juga tidak kalah dzalimnya.
Mereka hanya dilenakan oleh perasaan, bahwa rezim sekarang sangat dzalim, lalu membayangkan bahwa rezim sebelumnya lebih enak. Begitu rezim berganti, perasaannya tetap tdk berubah, yaitu bahwa rezim yang ada lebih dzalim dan lebih enak hidup pada rezim sebelumnya. Begitu seterusnya tanpa berkesudahan. Setiap rezim berganti, maka rezim lama tersenyum sinis sambil berkata: "enak zamanku to?".
Di sinilah pentingnya kesadaran ideologis, sehingga umat mampu memahami hakikat yang terjadi. Jika memang memang yang dibutuhkan hanya pergantian rezim, maka rezim perlu diganti dan insya Allah kehidupan akan berjalan lebih baik.
Namun, jika sebetulnya yang dibutuhkam adalah pergantian sistem, maka pergantian rezim tak ubahnya hanya mengganti sopir pada bus yang rem-nya blong. Sopir dengan gaya yag kalem mungkin terasa aman dan nyaman saat melaju di jalan datar, lurus dan sepi. Tapi, kecelakaan yang fatal akan terjadi saat melaju di jalan yang curam dan berkelok-kelok. Pada titik itu, hampir tidak ada bedanya sopir yang kalem atau yang ugal-ugalan. Sebab masalahnya bukan di sopirnya, tetapi di sistemnya.
Oleh karena itu, umat harus bisa mengidentifikasi bahwa yang terjadi apakah sekedar kedzaliman rezim atau kedzaliman sistem.
Jika yang terjadi hanya kedzaliman rezim, maka perlawanan pada rezim perlu dilakukan. Dan rezim itu insya Allah akan segera diganti dengan rezim lain yang lebih baik.
Jika yang terjadi adalah kedzaliman sistem yang ditandai dengan kedzaliman rezim secara luar biasa, maka perlawanan harus diarahkan kepada sistem. Rezim harus dilawan, namun bukan sekedar menggati rezim, tapi dalam rangka membongkar rezim sekakigus sistem yang menaunginya. Dengan perlawanan yang tepat tsb, maka kedzaliman sistem akan berhasil dirobohkan dan diganti dengan sistem yang memancarkan keadilan.
Bagaimanapun juga, kedzaliman rezim atau sistem akan terdeteksi dengan jelas oleh umat, lambat atau cepat.
Memang bukan sekedar kedzaliman yang akan membuat perubahan. Yang membuat perubahan adalah kesadaran umat akan adanya kedzaliman, ditambah lagi kesadaran terhadap sistem penggantinya.
Jika umat sudah sadar, secara alamiah, umat akan melawannya dan akhirnya kedzaliman itu tumbang, baik itu rezim atau sistem. Dan biasanya proses perubahan itu sangat mengharukan. Sejarah pelaku perubahan akan dicatat dengan tinta emas unk dikisahkan kepada generasi-generasi yang akan datang.
Wallahu a'lam.

Sunday, February 11, 2018

Produce Gold Generation

ANAK-ANAK GENERASI EMAS
Oleh : Prof. Dr-Ing. Fahmi Amhar
Para ahli kependudukan mengatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan “bonus demografi” pada tahun 2025. Itu tatkala jumlah penduduk usia produktif pada posisi optimum, dibandingkan jumlah lansia atau anak-anak. Tentu saja, bonus tersebut hanya dapat diraih jika mereka yang saat ini masih usia anak-anak itu dapat diformat menjadi generasi emas, generasi yang bertakwa, sehat, cerdas, gemar bekerja keras dan dapat bersinergi.
Dulu khilafah Islam dalam kurun waktu yang tidak sampai satu generasi telah menjadi produsen generasi emas yang kemudian berjaya berabad-abad. Pertanyaannya, bagaimana cara orang tua di masa itu mempersiapkan generasi-generasi cemerlang? Lalu kalau kita refleksikan, seberapa besar peran orang tua di masa kini bisa memberikan suri teladan bagi anak-anaknya baik secara akhlak, moral, minat hingga kecondongan anak-anak untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki? Bagaimana Islam memberikan peranan serta arahan bagi para keluarga khususnya di bidang sains mengingat saat ini banyak event-event internasional di bidang sains yang dimenangi oleh tim dari Indonesia, namun ironisnya, hampir sebagian besar, didominasi oleh kalangan non-Muslim.
Di semua peradaban yang masih sederhana, keluarga selalu jadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Maka kualitas orang tua sangat berpengaruh pada kualitas anak-anak tersebut. Mereka yang hidup dengan berburu, pasti mengajari anak-anaknya bagaimana hidup di hutan, mencari hewan buruan, menjebak atau menjinakkannya. Mereka yang hidup dengan bertani, pasti mengajari anak-anaknya bagaimana bercocok tanam, menemukan tanah yang sesuai tanamannya, kapan saat yang tepat untuk memupuk, menyingkirkan gulma hingga memanen. Dan mereka yang hidup dengan berdagang, pasti sejak dini mengajak anak-anaknya mengenal bisnis.
Pendidikan seperti itu tetap diteruskan di zaman Nabi. Namun Nabi menambahkannya dengan dua hal:
_Pertama,_ menambahkan bahwa manusia diberi peran lebih oleh Allah, yaitu untuk beribadah dan untuk menyebarkan rahmat ke seluruh alam. Ini suatu misi manusia di dunia yang tidak begitu saja muncul secara naluriah, dan harus diajarkan. Maka generasi sahabat mulai menanamkan kesadaran misi Islam itu pada anak-anaknya.
_Kedua,_ menanamkan bahwa umat Islam harus menjadi umat terbaik di tengah manusia. Maka mereka harus menjadi manusia-manusia pembelajar. Maka Rasul juga membuka dunia belajar seluas-luasnya, meminta tawanan Perang Badar mengajar anak-anak Muslim tulis-baca, menyuruh beberapa sahabat belajar bahasa asing, bahkan mengirimkannya ke Barat dan ke Timur, hingga sampai ke Cina.
Orang-orang tua pada masa itu berusaha keras mengikuti pendidikan cara Nabi tersebut. Mereka yang menyadari dirinya memiliki keterbatasan, menitipkan anak-anaknya ke para sahabat yang terdekat dengan Nabi, atau bahkan ke Nabi sendiri, seperti misalnya terjadi pada Anas bin Malik yang dititipkan orang tuanya agar mengabdi pada Nabi, sekaligus belajar banyak hal tentang kehidupan.
Hal ini berlanjut terus di masa khilafah selanjutnya. Orang-orang tua yang sangat peduli pendidikan, membawa anaknya untuk nyantri di kalangan para ulama dan ilmuwan. Ada yang diserahkan Imam Malik, dan akhirnya juga menjadi imam seperti Imam Syafi’i. Dan ada yang menjadi santri dari astronom Yahya bin Abi Mansur, seperti tiga anak yatim dari Musa bin Syakir. Tiga anak yatim yang dikenal dengan Banu Musa ini kemudian menjadi ilmuwan-ilmuwan hebat di bidang astronomi, matematika dan mekanika.
Oleh orang tuanya, anak-anak cemerlang itu dibiasakan sejak kecil hidup dalam suasana shalih, jujur, selalu memilih yang halal, juga gemar bekerja keras dan menghargai ilmu. Syafi’i kecil atau Ibnu Sina, dan ribuan ulama dan ilmuwan lainnya, sudah hafal Alquran sebelum usia 10 tahun.
Didikan orang tua itu menambah efektif suasana lingkungan yang dibentuk oleh Negara Khilafah. Negara bertanggung jawab agar “noise” atau gangguan yang muncul di luar rumah ada di titik minimum. Tidak ada perzinaan atau pornografi, tidak ada miras dan narkoba, juga tidak ada aktivitas-aktivitas sia-sia lainnya. Lingkungan yang ada adalah suasana ilmu, kerja keras, dakwah dan jihad.
Di rumah tentu saja orang tua menghadapi tantangan bahwa mereka harus jadi contoh yang baik, terutama masalah integritas. Umar bin Khattab pernah tersentuh ketika mendengar seorang anak gadis yang tidak mau mengikuti perintah ibunya untuk mencampur susu dengan air. Ibunya, sang penjual susu mengatakan, toh Khalifah tidak tahu. Tetapi anaknya membantah, sekalipun Khalifah tidak tahu, tetapi Allah tahu. Umar segera menyuruh Ashim putranya melamar anak gadis itu. Atsar ini menunjukkan, bahwa sekalipun orang tua kadang tergoda untuk bermaksiat, tetapi suasana umum yang shalih pada waktu itu, bisa membuat seorang anak tetap shalih.
Kapan peradaban Islam mencapai zaman keemasannya memang tergantung ukuran yang kita pakai. Kalau ukurannya adalah jumlah muttaqin atau mujahidin per kapita, mungkin zaman paling emas adalah zaman Rasul. Tetapi kalau ukurannya adalah luasnya kekuasaan, kuatnya pengaruh dan banyaknya karya ilmu, teknologi dan seni, maka itu tercapai di abad-2 H, atau di abad pertama dinasti Abbasiyah. Pada saat itulah kombinasi dan sinergi antara hasil dakwah dan jihad selama abad pertama, stabilitas politik dan keamanan, pembangunan fasilitas pendidikan oleh negara, wakaf para aghniya di bidang ilmiah dan tentu saja ketekunan para keluarga untuk memberikan bibit terbaik yang akan memasuki majelis ilmu, sangat berperan di dalamnya.
Metode terbaik dalam membuat orang tua memberikan perhatian besar pada anak-anaknya adalah menanamkan kesadaran bahwa mereka sedang membentuk calon pemimpin masa depan, generasi penakluk Konstantinopel dan Roma yang dirindukan Rasulullah sebagai orang-orang terbaik yang tidak pernah dilihat para sahabat.
Orang-orang tua Muslim di masa itu, dan juga negara khilafah di masa itu tidak mendikotomikan antara ilmu agama dengan sains. Jelas bahwa ada hal-hal mendasar yang harus ditanamkan pada setiap anak sejak dini, seperti pengetahuan dasar keislaman dan menghafalkan alquran, minat terus belajar, juga ketrampilan fisik seperti berenang, berkuda dan memanah. Tetapi sejak menjelang mereka baligh, mereka sudah dapat menekuni berbagai jenis ilmu sesuai minatnya. Maka kita lihat, sebagan besar intelektual di masa itu adalah polymath, yakni mereka yang menguasai minimal tiga bidang ilmu secara mendalam, misalnya ilmu syariah, ilmu sejarah dan matematika, atau bahkan juga ditambah geografi, kedokteran dan astronomi.
Karena itu, cara terbaik agar agar anak dan orang tua sepakat menggapai kesuksesan di bidang sains, lalu juga mau ikut berkompetisi di tingkat dunia, adalah menanamkan kesadaran, bahwa setiap Muslim adalah bagian dari umat terbaik (khairu ummah), dan itu diperlukan agar dia dapat efektif melakukan amar ma’ruf dan nahy munkar (QS. Ali Imran : 110).
Allah sebenarnya mendistribusikan kecerdasan itu merata di seluruh anak-anak yang lahir di muka bumi. Hanya saja tidak semua beruntung mendapatkan mentor. Sama seperti ketika Rasul mengatakan, “semua anak lahir dalam keadaan suci, orang tuanya yang menjadikan mereka yahudi, Nasrani atau Majusi”. Maka juga “semua anak lahir dalam keadaan cerdas, kritis dan kreatif, orang tuanyalah yang menjadikan mereka bego, tumpul, dan suka mencontek”.
Kita tentu berharap, bahwa dengan terlibat dalam dakwah ideologis, kita memiliki energi spiritual untuk berbuat lebih terhadap anak-anak kita, sehingga mereka menjadi shaleh, dan juga menjadi generasi emas yang unggul dalam teknologi. Islam tanpa teknologi akan terjajah. Teknologi tanpa Islam akan menjajah. Dan Islam yang menginspirasi dan memandu teknologi, akan membebaskan manusia dari penjajahan.
Sumber : Media Umat
===============================
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status ini.
==============================
Facebook : www.facebook.com/WadahAspirasiMuslimah
Twitter : www.twitter.com/Muslimah_Bogor
Instagram: www.instagram.com/muslimah_bogor
Telegram : https://t.me/WadahAspirasiMuslimah

Thursday, February 8, 2018

History of khulafa

Kusman Sadik
Ada tulisan menarik dari Dr. Daud Rasyid, Lc., MA. Kelebihan tulisan ini: (1).Disampaikan secara resmi di persidangan PTUN, Jakarta Timur, tanggal 08 Pebruari 2018, (2).Penulisnya seorang akademisi bidang hadits dan syariah, (3).Pada tulisannya tersebut disertakan pula berbagai literatur sebagai referensi yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Selamat membaca ada manfaatnya.
--------------------
KHILAFAH AJARAN ISLAM
Dr. Daud Rasyid, Lc., MA (*)
Istilah Khilafah
Khilafah adalah isim syar’i [istilah syariah]. Artinya, Khilafah ini bukan istilah buatan manusia, karena istilah ini pertama kali digunakan dalam nash syariah dengan konotasi yang khas, berbeda dengan makna yang dikenal oleh orang Arab sebelumnya. Sebagaimana kata Shalat, Hajj, Zakat, dan sebagainya. [Lihat, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz I/27-28]
Istilah Khilafah, dengan konotasi syara’ ini digunakan dalam hadits Nabi saw. sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal:
(تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ) [رواه أحمد]
“Ada era kenabian di antara kalian, dengan izin Allah akan tetap ada, kemudian ia akan diangkat oleh Allah, jika Allah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah itu, akan ada era Khilafah yang mengikuti Manhaj Kenabian.” [Hr. Ahmad]
Ini juga bukan merupakan satu-satunya riwayat, karena masih banyak riwayat lain, yang menggunakan kata Khilafah, dengan konotasi syara’ seperti ini. Lihat, Musnad al-Bazzar, hadits no 1282. Musnad Ahmad, hadits no 2091 dan 20913. Sunan Abu Dawud, hadits no 4028. Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2152. Al-Mustadrak, hadits no. 4438.
Adapun pemangkunya disebut Khalifah, jamaknya, Khulafa’. Ini juga disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah saw. Antara lain dalam hadits Abu Hurairah ra.
(كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَ بَعْدِيْ، وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ) [رواه مسلم]
“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [Hr. Muslim]
Tidak hanya di dalam hadits ini, tetapi juga banyak hadits lain yang menggunakan istilah Khalifah [jamaknya, Khulafa’]. Lihat, Shahih Bukhari, hadits no. 6682. Shahih Muslim, hadits no. 3393, 3394, 3395, 3396, 3397 dan 3398. Sunan Abu Dawud, hadits no. 3731 dan 3732. Musnad Ahmad, hadits no. 3394, 19901, 19907, 19943, 19963, 19987, 19997, 20019, 20032, 20041, , 20054, 20103 dan 20137. Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2149 dan 4194.
Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah, jamaknya Khulafa’, adalah istilah syariah, yang memang digunakan dalam nash syariah, bersumber dari wahyu. Bukan buatan manusia, baik generasi sahabat, tabiin, atba’ tabiin maupun para ulama’ setelahnya. Istilah ini kemudian diadopsi para ulama’ ushuluddin [akidah], fikih dan tsaqafah Islam yang lainnya dengan konotasi sebagaimana yang dimaksud oleh hadits Nabi di atas.
Makna Khilafah dan Khalifah
Dalam Mu’jam Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, istilah Khilafah ini didefinisikan dengan:
النِّيَابَةُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي حَرَاسَةِ الدِّيْنِ، وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَمِنْ أَمْثِلَتِهِ كَوْنُ أَبِيْ بَكْرٍ، وَمِنْ بَعْدِهِ مِنَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، وَنَحْوِهِمْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ خُلَفَاءَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِيْ حَرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا.
“Menggantikan Nabi saw. dalam menjaga agama dan mengurus dunia, di antaranya seperti Abu Bakar, dan para Khulafa’ Rasyidin sepeninggalnya, dan yang lain seperti mereka, semoga Allah meridhai mereka, merupakan pengganti Nabi dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” [Majmu’ah Muallifin, Mu’jam Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, hal. 756]
Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah, jamaknya Khulafa’ bukanlah istilah yang asing di kalangan ulama’ kaum Muslim, dan kaum Muslim di sepanjang zaman. Kecuali, orang yang jahil tentang Islam. Dalam kitab, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, karya Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dinyatakan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” [Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz IX/881].
Imam al-Mawardi [w. 450 H], dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, menyatakan, “Imamah [Khilafah] dibuat untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” [al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, hal. 3]. Sedangkan Ibn Khaldun [w. 808 H], menyatakan, “Menggantikan pemilik syariah [Nabi saw.] dalam menjaga agama, dan mengurus dunia dengannya.” [Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, hal. 98]
Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” [Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226]. Definisi ini adalah definisi yang sama, yang digunakan oleh al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitabnya, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam. [Lihat, an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, hal. 34]
Karena merupakan istilah syara’, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Bahkan, Nabi saw. tidak hanya menggunakan istilah ini dengan konotasi syariahnya, tetapi juga menambahkan dengan predikat, Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah [Khilafah yang mengikuti metode kenabian], yang berarti Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang dijalakan oleh para sahabat itu merupakan copy paste dari Nabi saw. Mereka tinggal melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Nabi saw.
Bahkan, Nabi saw. memerintahkan agar umatnya tidak hanya memegang teguh sunahnya, tetapi juga sunah para Khulafa’ Rasyidin. Nabi saw. bersabda:
(عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِيِّنَ مِنْ بَعْدِيْ، وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ) [رواه أبو داود والترمذي]
“Kalian wajib berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para Khalifah Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunah itu dengan gigi geraham.” [Hr. Abu Dawud dan at-Tirmidzi]
Perintah untuk terikat dengan sunah [tuntunan] mereka adalah perintah untuk mempertahankan Khilafah, sebagaimana yang diwariskan oleh Nabi saw. dan menegakkannya kembali, jika ia tidak ada.
Hukum Adanya Khilafah dan Menegakkannya
Semua ulama’ kaum Muslim sepanjang zaman sepakat, bahwa adanya Khilafah ini adalah wajib. Jika Khilafah tidak ada, hukum menegakkannya bagi seluruh kaum Muslim adalah wajib. Dasar kewajibannya tidak didasarkan pada akal atau kesepakatan manusia, tetapi wahyu. Berkaitan dengan ini, Imam as-Syafii menyatakan:
أَنَّ لَيْسَ لاَحَدٍ أَبَدًا أَنْ يَقُوْلَ فِي شَئْ حِلٌّ وَ لاَ حَرَمٌ إِلاَّ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَجِهَةُ الْعِلْمِ الخَبَرُ فِي الْكِتَابِ أَوْ السُّنَةِ أَوْ الإِجْمَاعِ أَوْ الْقِيَاسِ
Seseorang tidak boleh menyatakan selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali didasarkan pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab (al-Quran), as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak atau Qiyas.” [Lihat, Asy-Syafii, Ar-Risâlah, hlm. 39].
Senada dengan itu, Imam al-Ghazali juga menyatakan:
وَجُمْلَةُ الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ تَرْجِعُ إلَى أَلْفَاظِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ وَالِاسْتِنْبَاطِ
Keseluruhan dalil-dalil syariah merujuk pada ragam ungkapan yang tercantum dalam al-Kitab (al-Quran), as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak dan Istinbâth (Qiyas).” [Lihat, Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, Juz II/273].
Karena itulah, para ulama’ kaum Muslim sepakat mengenai kewajiban adanya Khilafah, dan kewajiban untuk menegakkannya, ketika ia tidak ada. Dasarnya adalah wahyu, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, baik berupa Ijmak Sahabat maupun Qiyas.
1. Dalil al-Quran
Allah SWT berfirman:
﴿وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً…﴾
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [Q.s. al-Baqarah [2]: 30].
Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat Khalifah.” Bahkan, beliau kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat, Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264].
Dalil al-Quran lainnya, antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll [Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49].
2. Dalil as-Sunnah
Di antaranya sabda Rasulullah saw.:
(مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً) [رواه مسلم]
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [Hr. Muslim].
Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49].
Nabi juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda saw. harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah Khulafa’, jamak dari Khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi]. Nabi bersabda:
(كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَ بَعْدِيْ، وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ) [رواه مسلم]
“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [Hr. Muslim]
3. Dalil Ijmak Sahabat
Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran dan as-Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i. Para ulama’ ushul menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan:
وَمَنْ أَنْكَرَ كَوْنَ الإِجْمَاعُ حُجَّةً مُوْجِبَةً لِلْعِلْمِ فَقَدْ أَبْطَلَ أَصْلَ الدِّيْنِ… فَالْمُنْكِرُ لِذَلِكَ يَسْعَى فِي هَدْمِ أَصْلِ الدِّيْنِ.
“Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini.” [Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296].
Karena itu, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan, atau dicampakkan seakan tidak berharga, karena bukan al-Qur’an atau as-Sunnah. Padahal, Ijmak Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap [Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124].
Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:
أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ.
“Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” [Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7].
Lebih dari itu, menurut Syaikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah diketahui, bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah Khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dasar atas kewajiban menegakkan Khilafah [Lihat, Syaikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49].
4. Kesepakatan Ulama Aswaja
Berdasarkan dalil-dalil di atas —dan masih banyak dalil lainnya— yang sangat jelas, seluruh ulama’ Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya Khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan,
إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ
“Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].
Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].
Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248].
Ulama Nusantara, Syaikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.
Bukti Historis Khilafah
Bukti tak terbantahkan tentang adanya Khilafah dalam sejarah kehidupan umat Islam telah diabadikan dalam kitab-kitab Tarikh yang ditulis oleh para ulama’ terdahulu hingga ulama’ mutakhir. Sebut saja, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, karya at-Thabari [w. 310 H], al-Kamil fi at-Tarikh, karya Ibn Atsir [w. 606 H], al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibn Katsir [w. 774 H], Tarikh Ibn Khaldun, karya Ibn Khaldun [w. 808 H], Tarikh al-Khulafa’, karya Imam as-Suyuthi [w. 911H], at-Tarikh al-Islami, Mahmud Syakir.
Dalam rentang sejarah, selama 14 abad, tidak pernah umat Islam di seluruh dunia tidak mempunyai seorang Khalifah, dan Khilafah, kecuali setelah runtuhnya Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924 M. Mereka adalah:
A. Khilafah Rasyidah
1. Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632-634 M)
2. ’Umar bin khaththab ra (tahun 13-23 H/634-644 M)
3. ’Utsman bin ‘Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M)
4. ‘Ali bin Abi Thalib ra (tahun 35-40 H/656-661 M)
5. ‘Al-Hasan bin Ali ra (tahun 40 H/661 M)
B. Khilafah Umayyah
6. Mu’awiyah bin Abi Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M)
7. Yazid bin Mu’awiyah (tahun 61-64 H/680-683 M)
8. Mu’awiyah bin Yazid (tahun 64-68 H/683-684 M)
9. Marwan bin Hakam (tahun 65-66 H/684-685 M)
10. ’Abdul Malik bin Marwan (tahun 66-68 H/685-705 M)
11. Walid bin ‘Abdul Malik (tahun 86-97 H/705-715 M)
12. Sulaiman bin ‘Abdul Malik (tahun 97-99 H/715-717 M)
13. ’Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M)
14. Yazid bin ‘Abdul Malik (tahun 102-106 H/720-724 M)
15. Hisyam bin Abdul Malik (tahun 106-126 H/724-743 M)
16. Walid bin Yazid (tahun 126 H/744 M)
17. Yazid bin Walid (tahun 127 H/744 M)
18. Ibrahim bin Walid (tahun 127 H/744 M)
19. Marwan bin Muhammad (tahun 127-133 H/744-750 M)
C. Khilafah ‘Abbasiyyah
20. Abul ‘Abbas al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M)
21. Abu Ja’far al-Mansyur (tahun 137-159 H/754-775 M)
22. Al-Mahdi (tahun 159-169 H/775-785 M)
23. Al-Hadi (tahun 169-170 H/785-786 M)
24. Harun al-Rasyid (tahun 170-194 H/786-809 M)
25. Al-Amiin (tahun 194-198 H/809-813 M)
26. Al-Ma’mun (tahun 198-217 H/813-833 M)
27. Al-Mu’tashim Billah (tahun 218-228 H/833-842 M)
28. Al-Watsiq Billah (tahun 228-232 H/842-847 M)
29. Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M)
30. Al-Muntashir Billah (tahun 247-248 H/861-862 M)
31. Al-Musta’in Billah (tahun 248-252 H/862-866 M)
32. Al-Mu’taz Billah (tahun 252-256 H/866-869 M)
33. Al-Muhtadi Billah (tahun 256-257 H/869-870 M)
34. Al-Mu’tamad ‘Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)
35. Al-Mu’tadla Billah (tahun 279-290 H/892-902 M)
36. Al-Muktafi Billah (tahun 290-296 H/902-908 M)
37. Al-Muqtadir Billah (tahun 296-320 H/908-932 M)
38. Al-Qahir Billah (tahun 320-323 H/932-934 M)
39. Al-Radli Billah (tahun 323-329 H/934-940 M)
40. Al-Muttaqi Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M)
41. Al-Musaktafi al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)
42. Al-Muthi’ Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M)
43. Al-Thai’i Lillah (tahun 364-381 H/974-991 M)
44. Al-Qadir Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M)
45. Al-Qa’im Bi Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)
46. Al-Mu’tadi Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)
47. Al-Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)
48. Al-Mustarsyid Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)
49. Al-Rasyid Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M)
50. Al-Muqtafi Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160)
51. Al-Mustanjid Billah (tahun 555-566 H/1160-1170 M)
52. Al-Mustadhi’u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)
53. An-Naashir Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)
54. Adh-Dhahir Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)
55. Al-Mustanshir Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M)
56. Al-Mu’tashim Billah ( tahun 640-656 H/1242-1258 M)
57. Al-Mustanshir billah II (taun 660-661 H/1261-1262 M)
58. Al-Haakim Biamrillah I ( tahun 661-701 H/1262-1302 M)
59. Al-Mustakfi Billah I (tahun 701-732 H/1302-1334 M)
60. Al-Watsiq Billah I (tahun 732-742 H/1334-1354 M)
61. Al-Haakim Biamrillah II (tahun 742-753 H/1343-1354 M)
62. Al-Mu’tadlid Billah I (tahun 753-763 H/1354-1364 M)
63. Al-Mutawakkil ‘Alallah I (tahun 763-785 H/1363-1386 M)
64. Al-Watsir Billah II (tahun 785-788 H/1386-1389 M)
65. Al-Mu’tashim (tahun 788-791 H/1389-1392 M)
66. Al-Mutawakkil ‘Alallah II (tahun 791-808 H/1392-14-9 M)
67. Al-Musta’in Billah (tahun 808-815 H/ 1409-1426 M)
68. Al-Mu’tadlid Billah II (tahun 815-845 H/1416-1446 M)
69. Al-Mustakfi Billah II (tahun 845-854 H/1446-1455 M)
70. Al-Qa’im Biamrillah (tahun 754-859 H/1455-1460 M)
71. Al-Mustanjid Billah (tahun 859-884 H/1460-1485 M)
72. Al-Mutawakkil ‘Alallah (tahun 884-893 H/1485-1494 M)
73. Al-Mutamasik Billah (tahun 893-914 H/1494-1515 M)
74. Al-Mutawakkil ‘Alallah OV (tahun 914-918 H/1515-1517 M)
D. Khilafah Utsmaniyyah
75. Salim I (tahun 918-926 H/1517-1520 M)
76. Sulaiman al-Qanuni (tahun 916-974 H/1520-1566 M)
77. salim II (tahun 974-982 H/1566-1574 M)
78. Murad III (tahun 982-1003 H/1574-1595 M)
79. Muhammad III (tahun 1003-1012 H/1595-1603 M)
80. Ahmad I (tahun 1012-1026 H/1603-1617 M)
81. Musthafa I (tahun 1026-1027 H/1617-1618 M)
82. ‘Utsman II (tahun 1027-1031 H/1618-1622 M)
83. Musthafa I (tahun 1031-1032 H/1622-1623 M)
84. Murad IV (tahun 1032-1049 H/1623-1640 M)
85. Ibrahim I (tahun 1049-1058 H/1640-1648 M)
86. Mohammad IV (1058-1099 H/1648-1687 M)
87. Sulaiman II (tahun 1099-1102 H/1687-1691M)
88. Ahmad II (tahun 1102-1106 H/1691-1695 M)
89. Musthafa II (tahun 1106-1115 H/1695-1703 M)
90. Ahmad II (tahun 1115-1143 H/1703-1730 M)
91. Mahmud I (tahun 1143-1168/1730-1754 M)
92. ‘Utsman III (tahun 1168-1171 H/1754-1757 M)
93. Musthafa II (tahun 1171-1187H/1757-1774 M)
94. ‘Abdul Hamid (tahun 1187-1203 H/1774-1789 M)
95. Salim III (tahun 1203-1222 H/1789-1807 M)
96. Musthafa IV (tahun 1222-1223 H/1807-1808 M)
97. Mahmud II (tahun 1223-1255 H/1808-1839 M)
98. ‘Abdul Majid I (tahun 1255-1277 H/1839-1861 M)
99. ‘Abdul ‘Aziz I (tahun 1277-1293 H/1861-1876 M)
100. Murad V (tahun 1293-1293 H/1876-1876 M)
101. ‘Abdul Hamid II (tahun 1293-1328 H/1876-1909 M)
102. Muhammad Risyad V (tahun 1328-1339 H/1909-1918 M)
103. Muhammad Wahiddin II (tahun 1338-1340 H/1918-1922 M)
104. ‘Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M
Dalam sepanjang sejarah Khilafah, tidak ada satu pun hukum yang diterapkan, kecuali hukum Islam. Dalam seluruh aspek kehidupan, baik sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri, semuanya merupakan sistem Islam. Inilah Khilafah yang diakui oleh kaum Muslim di seluruh dunia sebagai negara mereka.
Karena itu, menurut Syaikh Dr. Musthafa Hilmi, dalam tesis masternya di Universitas Alexandria, Mesir, Nadhariyyatu al-Imamah ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah [1387 H/1967 M], setelah memaparkan fakta Negara Islam sejak zaman Nabi, Khilafah Rasyidah, Umayyah, ‘Abbasiyah hingga ‘Utsmaniyyah, akhirnya sampai pada kesimpulan:
Pertama, pemikiran Sunni menentang penghapusan Khilafah. Karena itu, Ahlussunnah wal jamaah memegang teguh pendirian mereka, dengan cara yang sama sejak awal, membela dan mempertahankan Islam menghadapi berbagai gempuran yang berlangsung dalam rentang sejarah panjang umat Islam.
Kedua, Khilafah yang menerapkan Islam tetap ada hingga runtuhnya Khilafah ‘Utsmaniyah. Inilah yang menjadi alasan utama permusuhan Barat terhadap Khilafah ‘Utsmaniyah, sebab selama ia masih ada, maka sistem Islam pun tetap ada. Dengan adanya sistem pemerintahan Islam ini, maka suatu saat bisa kembali menguasai dunia, sehingga Eropa pun takut sejarah kejayaan umat Islam akan kembali dalam naungan Khilafah. Karena itu, hanya ada satu kata, menghilangkan Khilafah, dan menghalangi tegaknya kembali. [Lihat, Dr. Musthafa Hilmi, Nidzam al-Khilafah fi al-Fikri al-Islami, hal. 457]
Khatimah
Jadi, jelas Khilafah adalah ajaran Islam. Hizbut Tahrir Indonesia hanya menyampaikan apa yang menjadi ajaran Islam, yang dilupakan oleh kaum Muslim. Sebagai bagian dari ajaran Islam, Khilafah jelas bukan merupakan ancaman bagi Indonesia. Justru, Khilafah ingin menjaga dan menyelamatkan negeri Muslim terbesar ini, agar terbebas dari segala bentuk penjajahan yang hingga kini masih menderanya.
(*) Disampaikan di persidangan PTUN, Jakarta Timur, tanggal 08 Pebruari 2018, selaku Saksi Ahli dalam persidangan HTI.